Sore itu aku berkesempatan berkunjung ke pondok Al Ma'tsurah, KIIC. Hanya sebentar saja. Karena Ust. Nana yang merupakan pengasuh pondok sekaligus tempat anak-anak yatim itu kebetulan tak ada. Alhasil saya dan seorang sahabat akhirnya tak berlama-lama dan bergegas pergi.
Dalam perjalanan, kok tiba-tiba ingin sekali bertanya pada gadis gadis kecil (yatim) tentang arti kata tulus di dalam hidupnya, ya?
Apakah senyum manis mereka sore tadi benar-benar tulus dan ikhlas?
Kemudian angin membawaku pada pekarangan berantakan, di pinggir jalan Perumnas Teluk Jambe. Tempat Ustadz Nana sedang menjajakan puluhan kambing yang ia bawa dari perkampungan terpencil di belakanh KIIC. Lagi-lagi, aku ingin bertanya pada beliau. Seberapa tulus dan ikhlas beliau melawan debu untuk menjual kambing-kambing kurban itu?
Tak ada sebentuk rumah atau sekedar gubuk untuk berteduh selama lima hari belakangan. Kecuali hanya sebatang pohon kersen yang daunya kerontang oleh kemarau. Bagaimana matahari yang panas membakar tubuhnya sepanjang siang. Dan angin malam yang dingin menembus celah-celah baju dan sarungnya.
Ah. Melihat kompor gas yang diletakkan sekenanya diantara rerumput ilalang, baju ganti yang digantung seadanya pada dahan kersen, tikar yang digelar diantara pasak-pasak tali kekang kambing.
Ah. Aku gagal untuk memfahamkan diriku sendiri bahwa ketulusan hanya diartikan sebagai hati yang menerima, kemudian dijalani dan mengalir laksana air.
Jauh. Jauh dari sekedar itu.
Betapa Ustadz Nana dan sorot mata gadis-gadis mungil itu menyadarkan saya bahwa esensinnya bukan pada tulus atau tidaknya kita menjalani hidup. Ikhlas atau tidaknya kita menerima apapun pemberian Tuhan. Keduanya memiliki konsesunesi bahwa kita wajib berusaha dan berjuang ketika hati dan semua perbendaharaan yang kita punya -seolah-olah- sedang tidak bersahabat.
0 comments