Seorang Dayu.
Seorang yang kini duduk di bangku kelas 3 sebuah Sekolah Dasar Negeri nun jauh di sana. Di pinggiran kabupaten, pinggir dan menggiriskan. Sorot matanya sembab, menatap kelu di balik jendela kelas. Belasan teman-teman sekelasnya yang kini sedang berlarian riang. Menghempaskan debu halaman sekolah hingga bertebaran, memeriahkan waktu siang. Sedang ia sendiri, hanya bisa tepekur diam. Menahan segala luapan rasa di dada yang bergejolak, karena tertahan oleh tangan dan kaki yang serba terbatas.
Ya. Dialah Dayu.
Sangat pantas sekali jika ia mengadu dan bertanya, "Tuhan, kenapa Engkau lahirkan aku ke dunia?" Atau potongan lirik lagu ini barangkali bisa menjadi sebuah keluhan, "Ayah Bunda tercinta, satu yang tersisa. Kenapa kau tiupkan nafasku ke dunia?" Sangat mafhum, begitu pula aku. Penyakit polio yang melumpuhkan total seluruh daya geraknya, bahkan untuk menopang dirinya sendiri sangat bisa untuk menjadi setumpuk alasan baginya. Alasan untuk pasrah dan juga marah. Untuk takluk pada dunia. Untuk menyerah pada dirinya sendiri.
Tapi, dialah Dayu.
Ia buang jauh-jauh setumpuk alasan di depan matanya itu. Menjadi murid paling pintar di kelas. Apalagi urusan baca tulis. Lihatlah ia saat kuhampiri di atas bangku yang 4 tahun menjadi karibnya. Sebuah buku sejarah tentang Ir. Soekarno. Setebal 400-an halaman. Aku tercengang. Kusapa ia. Balasan sorot matanya secara spontan membawaku ke dalam gejolak rasa di dalam dadanya. Entah apa itu, tercampur aduk. "Dayu, yuk main sama temen-temen di luar sana? Kakak gendong." Kucoba mengulur senyum. Dia menampiskan wajah. Dan menggeleng pelan. Tak ingin terpisahkan dengan si karib yang setia menemaninya. Ah, mimiknya tegas menjelaskan bahwa itu sebuah keterpaksaan. Sebuah kebohongan.
Ayo Dayu.
Kurengkuh kedua tangannya dalam pelukanku. Kupaksa ia meninggalkan sahabat diamnya, bangku dan buku. Kutarik ia menjaring hangat mentari. Kubiarkan tebaran debu tadi menggores tangan dan kakinya yang lembut. Kupersilahkan ia tertawa bersama belasan teman kelasnya, sahabat yang nyata untuknya. Kemudian kutanyakan, "Jika Dayu sudah besar, pengen jadi apa?" Jawabannya dengan sebuah senyum, "Astronot!", tanpa pikir panjang. Polos.
Ah,
Seketika batinku terkoyak. Pun jua mataku. Ia membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan debu dan angin menghempas tubuhnya yang mungil. Matanya terpejam, tapi butiran air mata berkilauan dari pelupuknya. Sebuah ruang imajiner di dalam matanya menyiratkan sebuah pesan:
"Ini aku! Putra ayahku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin karena aku belum menyerah! Takkan pernah menyerah. Takkan pernah!" (Andrea Hirata, Padang Bulan)
Jika orang-orang di dunia ini -termasuk seorang Dayu, juga Dayu-Dayu yang lain- tak punya mimpi, untuk apa bertahan hidup?
Aku percaya. Bahwa keyakinan pada mimpi mampu membuat manusia melakukan hal-hal yang luar biasa dan menakjubkan. Bahkan mampu menembus 'batas' yang terjangkau logika dan nalar. Ia membuat kita melesatkan kreativitas pada akselerasi terbaik, memaksa kita bekerja dengan optimal, berfikir sepuluh langkah lebih jauh, berjalan ribuan kilometer meninggalkan zona nyaman. Dan merasakan hidup.
Maka dari itu, bermimpilah.
Dan lihatlah bagaimana Tuhan memeluk dan mengindahkan mimpi-mimpi itu.
*Satu catatan dari Kelas Inspirasi Magetan #2; Rombel 10 - SDN Tegalarum 1, Bendo, Magetan
*Satu catatan dari Kelas Inspirasi Magetan #2; Rombel 10 - SDN Tegalarum 1, Bendo, Magetan
0 comments