Tulisan ini kupersembahkan untuk kedua sahabatku.
-------oOo-------
Ramadhan, Agustus di tahun 2010 di pinggiran kota Jakarta Utara yang suhunya hampir mencapai 30 derajat Celcius. Benar-benar membakar dahagaku dan 83 teman baru di kampus baru yang hari itu sedang menahan diri dari lapar, haus dan dahaga karena berpuasa. Tak berperasaan memang. Masa orientasi sebagai mahasiswa baru untuk program PMDK itu harus kulalui selama dua minggu. Bersama 83 wajah baru dari berbagai kota yang terpinggirkan dari hiruk-pikuk ibukota, bahkan berasal dari berbagai pulau hingga dari Kalimantan.
Sebagian besar wajah-wajah baru itu nampak begitu marginal, terpinggirkan, kusut, berdebu dan sedikitpun tak berseni. Termasuk aku salah satunya. Lihat saja, setelan baju putih lengan panjang yang Ibu belikan itu sungguh terawang, menampakkan kaus kutang yang kupakai sebagai pelapis bagian dalam. Sepatu pantofel yang kupakai adalah milik Ayah beberapa tahun yang lalu. Itupun sudah sesak di kedua kakiku. Setelan pakaian yang sangat dipaksakan.
Kondisi cuaca yang berbeda ekstrim dengan kampung halaman, rasa air dan makanan yang tak karuan, serta gugup berkepanjangan saat presentasi di depan kelas adalah menu paling menyedihkan di bulan-bulan awal perantauanku di Ibukota.
Sebenarnya, sebelum ini tak pernah terfikirkan olehku bisa menjejakkan kaki di ibukota negeri ini yang dulu hanya bisa kutonton di layar televisi bersama Ayah. Seakan tak percaya, Tuhan memberikanku kesempatan yang luar biasa ini untukku; berkuliah. Tak usah pusing-pusing mikirin biaya dan sekaligus dapat uang saku. Cukup kau serius belajar agar IPK mu tetap di angka tiga koma. Kurang lebih begitulah yang disampaikan Bapak Direktur kampus baru itu. Maka semua hal menyedihkan di awal perkenalanku dengan Ibukota ini hanyalah gerbang ujian menuju hari-hari di depan mataku yang penuh cerita, ceria, cinta, perjuangan dan persahabatan yang jauh lebih luar biasa.
Di tengah masa-masa orientasi. Aku berkenalan dengan seorang laki-laki berambut klimis dengan senyumnya yang manis. Wajahnya persegi. Kombinasi sorot mata dan senyumnya yang santun, tutur katanya yang pelan menunjukkan bahwa ia adalah seorang suku Jawa yang alus. Sangat memegang teguh filosofi kuno orang Jawa, ''ajining dhiri dumunung ing kedhaling lathi'' (nilai diri seseorang terletak pada gerak lidahnya). Berada di dekatnya, Anda bisa merasakan sedang berdiri di dalam keraton Jogjakarta yang adiluhung itu. Coba saja Anda bikin ulah, dia akan memicingkan mata dan menaikkan alisnya, ''Sungguh tak sopan, anak muda!'', kurang lebih begitu maksudnya.
Hari-hari berikutnya, dia adalah orang paling melankolis di kelasku. Melankolis yang sangat sempurna; introvert, emosional, sensitif, dan teliti. Juga merupakan kobinasi dari kepribadian Melankilos-Koleris. Dia adalah mahasiswa paling pandai di kelas. Dan menjadi rujukan setiap tugas mata kuliah yang bertumpuk tak habis-habis. Walaupun dia lebih sering diam dan tak banyak bicara.
Di sebelahnya duduk seseorang laki-laki lagi berpenampilan serba apa adanya, tak berbeda jauh dengan aku. Wajahnya tirus, badannya kurus. Bentuk rambutnya mirip Einstein yang genius, menyebabkan dia mendapat pangilan ''profesor'' sejak hari pertama masa orientasi. Namun bukan profesor yang genius dalam bidang logika aritmatika tingkat dewa, tapi profesor untuk urusan hal-hal absurd yang menggelikan. Dia adalah provokator ulung dalam hal komedi dan membuat orang tertawa. Postur tubuh, cara berjalan, dan ekspresinya yang reaktif selalu menarik minat siapapun untuk meledeknya habis-habisan. Dan ketika diledek pun, dia akan meneruskan ledekan itu pada dirinya sendiri, menertawakan dirinya sendiri.
Berbeda dengan si Melankolis, dia adalah sosok paling sanguinis di kelas. Sanguinis yang sangat populer dan cinta damai; ekstrovert, terbuka, spontan dan kreatif. Kepribadiannya adalah kombinasi dari siifat Sangunis-Pleghmatis. Dia bisa berkawan dengan siapa saja dan tidur di mana saja. Dia adalah presentator paling baik di kelas karena dia memiliki semua aspek terbaik tentang body language, total vocal, powerful words, mantain the audience dan mastering the stage. Perfect.
Mereka berdua asli Malang, di pelosok kabupaten Kepanjen, dibalik perbukitan. Dulu satu SMK, kini pun satu kampus, satu kelas dan satu kamar kos-kosan. Mereka adalah dua wajah yang serba antiklimaks. Ibarat langit dan bumi yang disatukan di dalam satu kotak kamar kos-kosan mereka yang berukuran tak lebih dari 3 dikali 3 meter. Sekali lagi kukatakan, tak lebih dari 3 dikali 3 meter. Ya Tuhan, sempit sekali dunia ini hingga kau satukan langit dan bumi itu di satu ruang sempit, di pojok kelurahan Sungai Bambu yang kumuh, di bantaran sungai yang isinya air comberan tak layak pakai.
Dua wajah itu adalah dua sisi di koin mata uang Rp 50. Koin mata uang alumunium nominal terkecil yang dikeluarkan pemerintah Indoensia tahun 2000an. Menunjukkan betapa miskin dan kecilnya mereka berdua -dan juga kami, 83 wajah marginal ini- di konstelasi perputaran ekonomi modern megapolitan kota Jakarta. Di salah satu sisi koin Rp 50 itu, burung kepodang bermata bulat adalah representatif dari si Sanguinis-Pleghmatis. Burung yang sangat periang, kecil, lucu dan menggemaskan. Sedang di baliknya, sang Garuda adalah perlambang si Melankolis-Koleris. Tegas, simetris, teratur dan berwibawa. Dalam masa tiga tahun persahabatan kami, kedua burung itu terbang membentuk cakrawalanya masing-masing dan menjadi pusat gravitasi kelas kami.
Di kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu, Anda bisa melihat tumpukan baju yang disetrika rapi dengan lipatan super presisi milik si Melankolis. Tak jauh dari itu, hanya beberapa inchi tumpukan baju milik si Sanguins ditumpuk ala kadarnya, pokonya asal tak menyangkut saat kaki diselonjorkan pada waktu tidur di malam hari. Karena kamar mereka sangat sempit. Hanya 3 dikali 3 meter.
Playlist si Sanguins adalah lagu-lagu alternative rock milik Avril Lavigne. Sedangkan playlist si Melankolis adalah murotal 30 juz yang dia copy paste dari kakak tingkat di Rohis, sedangkan . Jika malam hari mereka bertolak punggung membagi ruangan 3 dikali 3 meter itu menjadi 2 sama besar untuk hanyut ke dunia masing-masing.
Jika di hari libur Sabtu-Minggu, si Melankolis akan sibuk dengan deretan rumus dan angka di layar laptopnya selama berjam-jam. Sedangkan si Sanguinis akan berjam-jam menelpon ibunya. Entah membicarakan apa, dan tak selalu ada habisnya.
Si Melankolis selalu me-manage dengan efisien semua barang dan uang yang ia punya. Tapi di kamar yang sama, yang hanya 3 dikali 3 meter, si Sanguinis selalu saja punya masalah dengan laptopnya, setrikanya, dan hape China-nya. Termasuk dengan uangnya.
Di kampus si Sanguinis selalu berpenampilan serba ''woles'' dengan jargon andalannya ''aremania eitajes''. Rambutnya dibiarkan acak-acakan dengan cambang tipisnya yang elegan. Tapi si Melankolis selalu berpenampilan rapi dengan rambutnya dipotong sepapak. Setiap langkahnya merupakan gerakan terdidik yang dia warisi dari leluhurnya, orang-orang Jawa Alus.
Kombinasi dua kepribadian yang bertolak belakang di dalam kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu menjadi pusat gravitasi di kelasku. Saat hari libur, saat jam kuliah selesai jam 3 sore -normalnya jam setengah 5 sore- bergerombol teman-temanku mampir ke kamar kos-kosan berukuran 3 dikali 3 meter itu. Men-copy film, copy lagu, copy murotal 30 jus, juga copy paste tugas kuliah. Kadang diskusi dan konsultasi tentang beberapa materi perkuliahan. Yang lebih sering sih cuma sekedar duduk dan adu argumen absurd dengan si Sanguinis. Niatnya buat ledek-ledekan. Dan riuhlah tawa di kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu.
Kini, si Melankolis telah bekerja di sebuah perusahaan after sales otomotif bagian operational di Surabaya. Membawahi beberapa orang. Atau bahasa kerennya sudah dipanggil 'boss'. Keren bukan main. Sangat job-oriented. Si Sanguinis sama, bekerja di perusahaan after sales otomotif di Jakarta. Tapi di bagian Customer Engagement. Headset dan michophone selalu bertengger di kepalanya. Kapanpun customer menelpon, dia akan selalu sigap memberikan pelayanan terbaiknya. Sungguh people-oriented.
Hari ini. Setahun setelah kelulusan kami. Kabar bahagia pun kuterima dari mereka berdua. Sebuah kabar pernikahan.
Maka teruntuk sahabatku, Mas Andari Mega Pratama.
''Barakallahu laka, wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair''. Semoga Allah senantiasa menghimpun engkau dan istrimu dalam kebaikan.
Seperti halnya burung Garuda. Kau benar-benar cinta tanah air. Ternyata jodohmu hanya sepelemparan batu saja. Sama-sama orang Malang. Ah, setia banget sih?
Maka teruntuk sahabatku, Bro Cahyadi Wahyu Pratama.
''Barakallahu laka, wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair''. Semoga Allah senantiasa menghimpun engkau dan istrimu dalam kebaikan.
Seperti halnya burung kepodang. Kau benar-benar membuat cakrawala duniamu sebebas-bebasnya. Sebebas engkau terbang ke negeri Brunei Darussalam menjemput jodohmu. Ah, jauh dan indah sekali.
Ah, saat kuketik tulisan ini aku baru sadar ternyata nama belakang kalian sama. Kebetulan-kah?
Hari ini. bumi dan langit yang dulu tinggal di satu kamar kosan berukuran 3 dikali 3 meter itu telah menjelma menjadi laki-laki bermartabat tinggi. Sempurna sudah separuh agama mereka. Terlengkapi sudah sayap bidadari kedua di samping mereka. Mengabaikan banyak kaum muda-mudi seumurannya yang masih terjebak di kubangan dunia pacaran. Penuh muslihat syaithan. Mengabaikan pula orang-orang seperti aku, bujang, yang paranoid dengan pertanyan, ''Kamu kapan nyusul?''
Lihatlah hari ini. Si Melankolis-Koleris telah membuat bumi menampilkan wajah jingganya yang magis dan penuh kehidupan. Dibalur embun dan titik-titik air yang basah. Si Sangunins-Pleghmatis telah merenda awan CirroCumulus di langit tinggi bak kapas-kapas udara yang membias ultavoilet senja menjadi puluhan spektrum pelangi. Mereka adalah representatif nyata dari lukisan Tuhan nan indah.
Lihatlah hari ini. Dua wajah di sisi koin mata uang Rp. 50 itu sedang menari di atas batas. Bernyanyi bahagia dalam jalinan yang suci dan kuat. Koin-koin itu berputar-putar cepat membentuk bangun ruang 3 dimensi serupa gasing dan mendesingkan pertanyaan bertubi-tubi yang sengaja diarahkan padaku.
''Fred, kamu kapan nyusul?''
Ah!
Tutup chat WA.
Silent Mode.
Tutup telinga.
Tidur!
Hari-hari berikutnya, dia adalah orang paling melankolis di kelasku. Melankolis yang sangat sempurna; introvert, emosional, sensitif, dan teliti. Juga merupakan kobinasi dari kepribadian Melankilos-Koleris. Dia adalah mahasiswa paling pandai di kelas. Dan menjadi rujukan setiap tugas mata kuliah yang bertumpuk tak habis-habis. Walaupun dia lebih sering diam dan tak banyak bicara.
Di sebelahnya duduk seseorang laki-laki lagi berpenampilan serba apa adanya, tak berbeda jauh dengan aku. Wajahnya tirus, badannya kurus. Bentuk rambutnya mirip Einstein yang genius, menyebabkan dia mendapat pangilan ''profesor'' sejak hari pertama masa orientasi. Namun bukan profesor yang genius dalam bidang logika aritmatika tingkat dewa, tapi profesor untuk urusan hal-hal absurd yang menggelikan. Dia adalah provokator ulung dalam hal komedi dan membuat orang tertawa. Postur tubuh, cara berjalan, dan ekspresinya yang reaktif selalu menarik minat siapapun untuk meledeknya habis-habisan. Dan ketika diledek pun, dia akan meneruskan ledekan itu pada dirinya sendiri, menertawakan dirinya sendiri.
Berbeda dengan si Melankolis, dia adalah sosok paling sanguinis di kelas. Sanguinis yang sangat populer dan cinta damai; ekstrovert, terbuka, spontan dan kreatif. Kepribadiannya adalah kombinasi dari siifat Sangunis-Pleghmatis. Dia bisa berkawan dengan siapa saja dan tidur di mana saja. Dia adalah presentator paling baik di kelas karena dia memiliki semua aspek terbaik tentang body language, total vocal, powerful words, mantain the audience dan mastering the stage. Perfect.
Mereka berdua asli Malang, di pelosok kabupaten Kepanjen, dibalik perbukitan. Dulu satu SMK, kini pun satu kampus, satu kelas dan satu kamar kos-kosan. Mereka adalah dua wajah yang serba antiklimaks. Ibarat langit dan bumi yang disatukan di dalam satu kotak kamar kos-kosan mereka yang berukuran tak lebih dari 3 dikali 3 meter. Sekali lagi kukatakan, tak lebih dari 3 dikali 3 meter. Ya Tuhan, sempit sekali dunia ini hingga kau satukan langit dan bumi itu di satu ruang sempit, di pojok kelurahan Sungai Bambu yang kumuh, di bantaran sungai yang isinya air comberan tak layak pakai.
Dua wajah itu adalah dua sisi di koin mata uang Rp 50. Koin mata uang alumunium nominal terkecil yang dikeluarkan pemerintah Indoensia tahun 2000an. Menunjukkan betapa miskin dan kecilnya mereka berdua -dan juga kami, 83 wajah marginal ini- di konstelasi perputaran ekonomi modern megapolitan kota Jakarta. Di salah satu sisi koin Rp 50 itu, burung kepodang bermata bulat adalah representatif dari si Sanguinis-Pleghmatis. Burung yang sangat periang, kecil, lucu dan menggemaskan. Sedang di baliknya, sang Garuda adalah perlambang si Melankolis-Koleris. Tegas, simetris, teratur dan berwibawa. Dalam masa tiga tahun persahabatan kami, kedua burung itu terbang membentuk cakrawalanya masing-masing dan menjadi pusat gravitasi kelas kami.
Di kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu, Anda bisa melihat tumpukan baju yang disetrika rapi dengan lipatan super presisi milik si Melankolis. Tak jauh dari itu, hanya beberapa inchi tumpukan baju milik si Sanguins ditumpuk ala kadarnya, pokonya asal tak menyangkut saat kaki diselonjorkan pada waktu tidur di malam hari. Karena kamar mereka sangat sempit. Hanya 3 dikali 3 meter.
Playlist si Sanguins adalah lagu-lagu alternative rock milik Avril Lavigne. Sedangkan playlist si Melankolis adalah murotal 30 juz yang dia copy paste dari kakak tingkat di Rohis, sedangkan . Jika malam hari mereka bertolak punggung membagi ruangan 3 dikali 3 meter itu menjadi 2 sama besar untuk hanyut ke dunia masing-masing.
Jika di hari libur Sabtu-Minggu, si Melankolis akan sibuk dengan deretan rumus dan angka di layar laptopnya selama berjam-jam. Sedangkan si Sanguinis akan berjam-jam menelpon ibunya. Entah membicarakan apa, dan tak selalu ada habisnya.
Si Melankolis selalu me-manage dengan efisien semua barang dan uang yang ia punya. Tapi di kamar yang sama, yang hanya 3 dikali 3 meter, si Sanguinis selalu saja punya masalah dengan laptopnya, setrikanya, dan hape China-nya. Termasuk dengan uangnya.
Di kampus si Sanguinis selalu berpenampilan serba ''woles'' dengan jargon andalannya ''aremania eitajes''. Rambutnya dibiarkan acak-acakan dengan cambang tipisnya yang elegan. Tapi si Melankolis selalu berpenampilan rapi dengan rambutnya dipotong sepapak. Setiap langkahnya merupakan gerakan terdidik yang dia warisi dari leluhurnya, orang-orang Jawa Alus.
Kombinasi dua kepribadian yang bertolak belakang di dalam kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu menjadi pusat gravitasi di kelasku. Saat hari libur, saat jam kuliah selesai jam 3 sore -normalnya jam setengah 5 sore- bergerombol teman-temanku mampir ke kamar kos-kosan berukuran 3 dikali 3 meter itu. Men-copy film, copy lagu, copy murotal 30 jus, juga copy paste tugas kuliah. Kadang diskusi dan konsultasi tentang beberapa materi perkuliahan. Yang lebih sering sih cuma sekedar duduk dan adu argumen absurd dengan si Sanguinis. Niatnya buat ledek-ledekan. Dan riuhlah tawa di kamar berukuran 3 dikali 3 meter itu.
Kini, si Melankolis telah bekerja di sebuah perusahaan after sales otomotif bagian operational di Surabaya. Membawahi beberapa orang. Atau bahasa kerennya sudah dipanggil 'boss'. Keren bukan main. Sangat job-oriented. Si Sanguinis sama, bekerja di perusahaan after sales otomotif di Jakarta. Tapi di bagian Customer Engagement. Headset dan michophone selalu bertengger di kepalanya. Kapanpun customer menelpon, dia akan selalu sigap memberikan pelayanan terbaiknya. Sungguh people-oriented.
-------oOo-------
Maka teruntuk sahabatku, Mas Andari Mega Pratama.
''Barakallahu laka, wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair''. Semoga Allah senantiasa menghimpun engkau dan istrimu dalam kebaikan.
Seperti halnya burung Garuda. Kau benar-benar cinta tanah air. Ternyata jodohmu hanya sepelemparan batu saja. Sama-sama orang Malang. Ah, setia banget sih?
Maka teruntuk sahabatku, Bro Cahyadi Wahyu Pratama.
''Barakallahu laka, wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair''. Semoga Allah senantiasa menghimpun engkau dan istrimu dalam kebaikan.
Seperti halnya burung kepodang. Kau benar-benar membuat cakrawala duniamu sebebas-bebasnya. Sebebas engkau terbang ke negeri Brunei Darussalam menjemput jodohmu. Ah, jauh dan indah sekali.
Ah, saat kuketik tulisan ini aku baru sadar ternyata nama belakang kalian sama. Kebetulan-kah?
Hari ini. bumi dan langit yang dulu tinggal di satu kamar kosan berukuran 3 dikali 3 meter itu telah menjelma menjadi laki-laki bermartabat tinggi. Sempurna sudah separuh agama mereka. Terlengkapi sudah sayap bidadari kedua di samping mereka. Mengabaikan banyak kaum muda-mudi seumurannya yang masih terjebak di kubangan dunia pacaran. Penuh muslihat syaithan. Mengabaikan pula orang-orang seperti aku, bujang, yang paranoid dengan pertanyan, ''Kamu kapan nyusul?''
Lihatlah hari ini. Si Melankolis-Koleris telah membuat bumi menampilkan wajah jingganya yang magis dan penuh kehidupan. Dibalur embun dan titik-titik air yang basah. Si Sangunins-Pleghmatis telah merenda awan CirroCumulus di langit tinggi bak kapas-kapas udara yang membias ultavoilet senja menjadi puluhan spektrum pelangi. Mereka adalah representatif nyata dari lukisan Tuhan nan indah.
Lihatlah hari ini. Dua wajah di sisi koin mata uang Rp. 50 itu sedang menari di atas batas. Bernyanyi bahagia dalam jalinan yang suci dan kuat. Koin-koin itu berputar-putar cepat membentuk bangun ruang 3 dimensi serupa gasing dan mendesingkan pertanyaan bertubi-tubi yang sengaja diarahkan padaku.
''Fred, kamu kapan nyusul?''
Ah!
Tutup chat WA.
Silent Mode.
Tutup telinga.
Tidur!
haaaa????
ReplyDeletemas andari karo cahyadi wis nikah???
kok ra ana kabar2 e :O
wah, selamat buat mereka berdua :)
Hahahaha
ReplyDeleteIya Mi, awal Februari kemarin. :-#
Aku yo dikabari ujug ujug wes nikahan :((