"Bujang, ngapain hari Sabtu masih lembur di pabrik?"
Seketika aku manyun saat seorang rekan kerja yang pagi itu akan pulang -karena dia shift malam-, menegurku di parkiran motor. Alis dan bola mataku naik seirama dengan kepala yang kudongakkan ke atas. Muntab. Meliriknya tajam.
''Kampret, jam segini harusnya gue masih duduk di serambi kosan dengan buku dan tulisan gue!" Dalam hati menyerapahi dia.
Ya. Sudah 4 bulan belakangan ini aku sukses menolak lembur di hari libur (Sabtu-Minggu). Alasannya simpel, membiasakan diri dengan gaji minim. Bukan minimal sih, karena dalam bahasa kementrian disebut sebagai 'basic salary'. Udah diriset sedemikian rupa sehingga angka 'basic salary' itu sudah cukup dan layak untuk kebutuhan hidup satu bulan. Tentunya kebutuhan hidup dalam kategori layak.
Toh, juga ketika masih kuliah dulu, jatah uang saku per bulanku hanya seperlima dari 'basic salary'ku sekarang. Cukup. Dan aku masih hidup, sampai sekarang. Jadi harusnya tanpa tambahan lembur pun harusnya aku bisa hidup lebih dari cukup. Tapi sayangnya makhluk yang bernama manusia memang tak pernah bisa merasa cukup. Maka, alasan klasik bagi mereka yang mati-matian mengoleksi jam lembur adalah: "Lo masih bujang sih! Coba kalau udah nikah?". Kampret, bawa bawa sebutan 'bujang' lagi kan? Hina banget menyandang gelar itu .
miris tapi pingin ketawa juga :-)
ReplyDeleteYah....malah diketewain @-)
DeleteJustru dengan lembur, g ketahuan kalo msh bujang
ReplyDelete