~ Semurni Ketukan Jiwa ~
___________________________________
Alkisah seorang anak laki-laki keluarga miskin itu, yang dalam beberapa bulan perantauanya, bertanya pada ibunya lewat telepon suatu hari. ‘’Buk, di rumah ada yang pelihara kambing ga?’’ Ibunya pun penasaran menjawab, ‘’Ya ga tau lah Nak, emang mau buat apaan toh?’’ Dengan kikuk si anak berkata, ‘’Kan sekarang mas sudah bekerja, mas kok pengen ya ikutan qurban kambing? Ini ada sidikit tabungan”. ‘’Ya ampun Nak, kamu kerja kan baru sebentar. Mbok ya ditabung lagi uangnya. Nanti kalu sudah banyak baru berqurban. Tahun depan juga ga pa pa, kan?’’
‘’Iya sih...’’ si anak pun menggaruk-garuk kepalanya, ‘’Tapi mas juga ga tahu Buk, tahun depan masih ada di sini atau sudah dipanggil Tuhan.’’ Dengan kaget si ibu menjawab,’’Ssssttt.....ati ati Nak, belum apa-apa udah bicara soal mati’’. Anaknya pun mulai tersenyum, ‘’Hehehe....bukankah memang tidak ada jaminan Buk, apakah besok, lusa, minggu depan, bulan depan atau tahun depan kita masih dikasih hidup sama Tuhan?’’ Akhirnya ibunya terperangah dan mengalah. ‘’Ya sudah lah, kalo memang begitu maumu. Nanti ibu coba tanyakan ke tetangga-tetangga’’
‘’Lohh...Ibuk ga sekalian?’’ tanyanya penasaran. ‘’Sebenarnya ibuk sih pengen juga, Nak. Tapi kebutuhan di rumah juga banyak, makan aja susah. Nanti saja deh kalo ibuk. Tahun ini duitnya mau dipake buat benerin genteng rumah dulu.’’ jawab ibunya.
Akhirnya ibu dan bapak anak itu mencarikan seekor kambing untuk anaknya. Yang sudah cukup umur dan besar badannya. Tak mendapatkan di kampung tempat mereka tinggal, ia menanyakan pada kerabat dan kawannya di kampung yang lain.Begitulah hari demi hari. Singkat cerita, akhirnya didapatkanlah seekor kambing untuk hajat anaknya.
‘’Nak, kapan mau ditransfer uangnya?’’ tanya si ibu suatu sore, masih lewat telepon. ‘’Akhir bulan ya Buk, setelah mas gajian nanti langsung ditransfer. Ma’af, bulan kemarin masih banyak keperluan.’’ jawab si anak riang. ‘’Ehmmm....anu....gini Nak,’’ tetiba si ibu memelankan suaranya, ‘’kalo ditambahin dikit bisa ga transfernya? Uang tabungan ibuk ga jadi dipake buat benerin genteng rumah. Mau dibeliin kambing sekalian, tapi masih kurang. Ga pa pa kan?’’ Air mata anaknya berlinang. Jiwa nya bergetar. Dengan terbata-bata dijawabnya, ‘’Iya Buk, bisa. Pasti, pasti mas bantu’’.
Percik semangat seorang anak itu menggetarkan seluruh jiwa dalam keluarga kecilnya, yang masih serba kekurangan. Ah, bukankah memang seberapa banyak pun yang dititipkan Tuhan ke kita, selalu saja ada yang rasanya kurang?
Maka segala rasa kurang itu oleh si anak dicampakan, diganti dengan semangatnya yang ditransfer dalam sebentuk langkah pada kedua orang tuanya. Hingga ia-nya berkelindan, berketuk-ketuk dalam jiwa.
Namun, cukupkah hanya dengan terketuk saja? Saya rasa setiap orang memiliki fitrah yang sama sebagai manusia, cenderung kepada kebaikan. Hanya saja, sedikit diantara mereka yang mau menyambut kecenderungan itu. Ikut ambil bagian mewujudkan apa yang dalam hatinya dikatakan ‘baik’. Walau hanya dengan hal yang paling sederhana.
Contoh yang paling simpel saja, apakah membuang sampah di sembarang tempat, melempar botol mimuman dari dalam angkutan, membuang puntung rokok sekenanya, juga perilaku lain yang sejenis, adalah hal yang ‘baik’? Jawabannya pasti serempak. Tidak. Kemudian sudahkan kalian, para Sahabat, meninggalkannya?
Di satu sore yang lain, saya dan Mbak Medha Ardiana, teman saya yang kini bekerja di daerah Jakarta Selatan ngobrol lewat chat What’s Up. Sore itu ia sedang mengisi sebuah form pendaftaran untuk menjadi relawan mengajar selama sehari di kota Magetan. Cukup pelik memang, ada harapan -juga harapan saya- banyak orang-orang Magetan yang ikut mendaftar seperti halnya dia. Sebuah bukti nyata membangun daerah, ungkapnya.
Saya pun terkaget oleh satu pertanyaannya. ‘’Dirimu mau pulang membangun daerah?’’. Pertanyaan sederhana namun membutuhkan jawaban yang begitu kompleks. ‘’Masih belum tahu memulainya dari mana,’’ jawabku sederhana pula, ‘’atau mungkin memang dari ‘sini’. Ia kemudian meneruskan tanya, ‘’Oh,,yaa?’’. Kujelaskan padanya, ‘’setidaknya di ‘sini’ aku bisa bertemu dengan ‘orang-orang baik’, yang tidak hanya terketuk hatinya saja.’’
Dari pandangan mata turun ke hati. Berkontemplasilah ia di langit-langit mimpi. Berketuklah ia di bilik-bilik jiwa. Dan insan-insan yang baik, sudah seharusnyalah menyambut ketukan jiwanya, dalam seindah-indah bentuk karya.
((next chapter))
0 comments