~ Selayar Pandangan Mata ~
___________________________________
Bulan Agustus 2013, aku mendapatkan salah satu malam tebaikku di kota kecil ini. Melunasi apa yang sudah saya janjikan pada adikku sebelumnya, naik ke Gunung Lawu. Berangkat dari Cemoro Sewu jam 9 petang, aku, adikku dan tiga sahabatku, Ikhwan Mutaqin, Agus Efendi beserta Adiknya menapak jejak demi jejak, undak demi undak, jengkal demi jengkal jalan bebatuan yang kian menanjak. Menembus pepohonan rindang diantara semak-semak edelweis.
Kami berlima menjadi satu noktah terkecil, diantara milyaran ciptaan Tuhan yang dibentangkan begitu jelas dan cerah tanpa hijab, di depan kami. Dari rerumputan di seluas pegunungan Lawu hingga bebintangan di hamparan langit yang tinggi.
Hembus udara malam itu kian berat, pekat menyergap nafas yang tersengal cepat-cepat. Entah sudah berapa kilometer kugandeng erat jemari tangan adikku yang sudah dingin membeku. Tak kuizinkan sekalipun untuknya merebahkan ataupun mendudukkan tubuhnya yang letih kepayahan, kecuali memberhentikannya setiap 3-5 langkah. Menarik lebih panjang hembusan nafas, yang terengah-engah.
Sampailah kami di setapak jalan langsam panjang antara Jalatunda hingga Sendang Drajat. Pun akhirnya kami tak kuasa membanting tubuh ini, menyandarkannya pada pangkal pohon cantigi. Sembari melayangkan selayar pandang di jangkauan mata kami, tepat ke penjuru timur sampai ke penjuru langit. Bebintangan itu jatuh satu per satu bersahut sahutan, mengekor dan menghilang. Tak henti-hentinya menyenangkan pandangan kami, yang hampir mati dilanda letih. Sedang tepat di bawahnya, binar-binar kemerlap lampu kota kecil, Magetan, tampak begitu syahdu. Sangat sederhana dan menyejuk di kalbu.
Menyusuri titik-titik putih yang panjang kemudian memusat. Tak salah lagi, di tengah-tengah itu adalah alun-alun kota yang sedang mati. Ah, ataukah memang begitu adanya?
-------oOo-------
Saat menulis surat ini, ada kegundahan yang selalu menghampiri. Yaitu semenjak berpulang lebaran sebulan yang lalu. Bagaimana mata ini tak nanar menyaksikan bangunan megah tepat di sebelah barat alun-alun kota itu seakan redup memancarkan cahaya Illahiyahnya? Dalam hitunganku sudah berbilang hampir 2 tahun, lebih. Hanya satu bagian menaranya yang utuh berdiri. Pun ketika aku menyempatkan diri mengunjunginya. Ada gejolak rasa yang membuat nafas ini kembali tersengal.
Sedang dengan mata ini pula, aku menyaksikan bagaimana dalam kurun waktu yang hampir sama sepasang menara kembar berdiri gagah di pinggir Jalan Pulomas, Jakarta Timur. Atau sebangunan mirip apartemen berdiri megah saat melintasi daerah Kalibata, Jakarta Pusat, di 6 bulan masa magangku di daerah Tangerang.
Padahal ketika di perjalanan menuju Sendang Drajat kala itu, ada kebanggaan saat menatap lurus ke pusat binar-binar kemerlap lampu kota. Kini, kebanggaan itu tak tahu lagi kemana harus tertuju.
Tak bisa dipungkiri memang. Kecepatan pembangunan antara ibukota dengan kota ‘’nun jauh di sana’’ berbeda jauh. Bahkan mungkin tak mampu terkejar. Ketersediaan segala bentuk sarana dan prasarana pun menjadi alasan paling umum. Namun, secara pribadi apakah kalian merasa tidak tersentuh, bagaimana dengan kurun waktu yang sama, sudah berdiri sebuah mall megah baru di kota tetangga sebelah kita, Madiun? Ah, atau justru yang seperti itu yang menjadi kebanggan kita, Sahabat?
Teringat satu aksioma dari khalifah pertama peradaban Islam, Abu Bakr Ash Shiddiq. Menurut beliau, jika pasar memenangi Masjid, maka Masjid akan mati. Tapi jika Masjid memenangi pasar, maka pasar akan hidup. Kebanggan itu kini kian kelabu, karena kini terlihat nampak di depan mata, pasar telah jelas-jelas memenanginya.
Sudahlah, mari kita bicarakan hal yang lain. Sewaktu di Jogjakarta akhir tahun kemarin, ada gelisik harap akan menyapa beberapa kawan-kawan muda Magetan di sebuah kegiatan komunitas blogger. Namun hingga petang datang, tak nampak olehku kawan-kawan muda itu. Justru petang itu, entah bagaimana ceritanya aku sudah duduk berjibaku dengan kawan-kawan baru dari Bojonegoro, dengan bus reot yang mereka sewa bersama-sama untuk menembus Jalan Malioboro yang padat. Belakangan aku baru tahu, bus itu mereka sewa dengan bantuan bupati mereka. Aku pun tersenyum nyinyir.
Iri juga rasanya memiliki pemimpin yang peduli dengan generasi mudanya. Walaupun dalam kepedulian yang paling sederhana, nyewain bus. Atau paling tidak, mencarikan tempat untuk menyewa bus. Atau paling tidak, mengantarkan ke tempat persewaan bus. Atau yang paling sederhana, berbicara bersama, mau dibawa ke arah mana generasi muda kota ini?
Tidakkah kita sadar Sahabat, titik-titik putih memanjang yang kupandang dari perjalanan menuju Sendang Drajat kala itu adalah sebuah jalan. Mungkin salah satu di jalanan itu, anak-anak muda kita sedang mengerumuni sepasang motor yang dibelikan oleh orang tuanya, yang dibentuk tidak sebagaimana mestinya. Kemudian dari situ mereka membahayakan diri mereka. Lebih menyayat lagi saat mereka menjudikan beberapa keping rupiah mereka. Mengapa kita biarkan generasi muda kita menjadi sosok seperti mereka? Pergi malam-malam tanpa guna. Meninggalkan isak tangis di pelupuk mata orang tuanya.
Lebih jauh lagi, beberapa hari yang lalu ada kabar yang membuat hati ini kian terserak. Ada jasad terbujur kaku ditemukan di sekitaran kota kecil kita. Sesosok perempuan yang direnggut nyawanya oleh orang yang katanya pasangan kekasihnya di daerah perbatasan Magetan-Ngawi. Ia-nya masih duduk di bangku sekolah. Masih begitu belia usianya, duduk di bangku SMA. Mengapa kaum-kaum muda ini lebih mengutamakan syahwat hingga berujung pada zina dan akhirnya berakhir dengan terhina?
Dan yang paling membuat hati teriris adalah ditemukannya sesosok bayi mungil dengan senyum fitrahnya lagi murni. Tepat di kota kita, Sahabat. Nun jauh di sana. Ia-nya pun tak tahu untuk alasan apa ia dilahirkan di bumi ini. Namun, jika ia dimatikan oleh tangan ibu kandungnya sendiri. Sungguh mata ini tak mampu memandang selayar lebih jauh lagi. Memejam rekat-rekat sambil mendengungkan tanya dalam jiwa. Mengapa kaum-kaum muda kita lebih mengutamakan syahwat hingga berujung pada zina dan akhirnya menjadikan dirinya terhina?
Terlepas dari rendahnya kepedulian orang tua mereka. Di satu sudut pandang yang lain, kita, sudahkah menjadi bagian yang mencegah hal tersebut terulang pada generasi muda kita sendiri. Atau jangan-jangan memang tak sediakan sarana yang sekiranya mampu bagi kaum muda untuk aktif dalam berbagai kegiatan positif yang baik. Sarana dan fasilitas agar sekiranya kaum muda ini bisa belajar lebih giat, berkarya lebih semangat dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih manfaat.
Kemudian para pemimpin kami, sudahkah kalian mendorong kami semua sebagai yang kalian pimpin, agar kami lebih giat berkarya positif dengan segenap kemampuan kami? Getir rasanya melihat stadion yang selalu begitu adanya, perpustakaan yang kia sepi peminatnya. Juga tak ada karya seni yang bisa membanggakan kami.
-------oOo-------
Ah, potret kota ‘’nun jauh di sana’’ dalam selayar pandangan mata ini ibarat tubuh kami berlima yang kini sedang meringkuk kaku di dekat sumur Sendang Drajat. Gemeretak tulang dan darah kami, menggigil menahan dingin diterjang angin malam yang kelam. Tanpa hangat pelita yang menaungi hati. Hati yang lusuh didera debu kesemuan dunia.
Mungkinkah berkas cahaya surya pagi nanti, menyapa kami kembali. Memberikan pandangan yang lebih cerah dan indah pada kedua mata kami, juga kota kami ini. Ataukah cahaya yang terakhir kami lihat adalah sepercik api unggun di samping kami, yang sangatlah redup...redup dan akhirnya mati.
0 comments