Selasa terakhir bulan Oktober...
Ada kegembiraan meluap-luap di dalam hati. Akhirnya
menemukan metode terbaik menaklukkan mesin super presisi ini.
Mendapatkan deviasi 2 mikron dari allowance 10 mikron yang dinginkan
sebuah gambar teknik. Belum maksimal memang. Tapi cukuplah untuk seorang
amatiran seperti aku. Aku yang dulu tak terbiasa dengan ukuran mikron,
sebuah ukuran yang didapatkan dengan membagi panjang 1 milimeter menjadi
1000 sama besar. Kasat mata. Dan hanya bisa mengernyitkan dahi,
tinggi-tinggi.
Berdeda dengan beberapa kawanan burung prenjak sore itu
lebih memilih terbang rendah-rendah. Meliuk-liuk memutari pohon dan
menghindari tembok bangunan, dengan lincahnya. Senada dengan awan
penghujan yang kini makin rendah jaraknya. Mendung tipis itu menggelayut
pelan. Hingga sepanjang sore, wajah langit kota ini nampak buram tak
mengijinkan sengatan kilau senjanya menerpa aku yang biasa duduk
berlama-lama di mushola. Membaca-baca lagi chat WA yang sepanjang siang
kuacuhkan. Atau sesekali mengobrol dengan kawan yang tak buru-buru ingin
pulang.
Tapi sore itu aku ingin cepat-cepat pulang. Mendung yang
makin merendah mulai diikuti guntur-guntur kecil di pucuk langit. Aku
bergegas menuju pos security menanyakan kiriman paket dari sahabatku di
Magetan. Yang sudah kunanti lama-lama. Pun jua belum datang. Dengan
sedikit kecewa aku berlari kecil menuju parkiran motor, memasang
headset, helm, jaket dan memacu motor kencang-kencang. Tak ingin hujan
turun saat aku masih di jalan.
Kosan ini tak banyak berubah. Sudah bulan kedua belas aku
menghuninya. Yang nampak lebih sumringah adalah Pak Trimo. Penjual mie
ayam tepat di depan kosanku dengan gerobak birunya. Sudah hampir 3
minggu ini tak nampak, biasanya ia pulang ke Magelang, menjemput
kerinduan dengan keluarganya. Sore itu, ia tersenyum lebih sumringah
saat aku melambaikan tangan menyapanya. Begitu pula saat aku mendekat
memesan semangkuk mie tanpa mitchin. Kutatap lagi lekat-lekat. Ia
menyimpulkan senyum menunjukkan barisan giginya yang putih. "Sueneng,
kuangen jan karo anakku, broo". Ia memberikan penjelasan. "Yang kemarin
baru lahir?" Aku bertanya penasaran. "Iya lah, ini tadi dikirim fotonya
sama anakku yang udah gede." Ia menunjukkan foto sepasang bayi laki-laki
kembar di hape barunya. "Ahahaha, udah saya bilang kan. Kenapa ga
diajak ke sini, sih?". Kami berdua sama-sama tertawa. Menikmati sore
yang terasa lebih dingin.
Berjalan ke lantai dua kosan. Masih sama saja. Empat kamar
yang lebih sering ditutup, kecuali kamarku yang paling ujung, menghadap
jalan. Di derasnya musih hujan teras ini akan tergenang air dari ujung
ke ujung. Membuatku berjingkat-jingkat kecil. Menyipakkan genangan air
dengan riak-riak bergelombang.
Di kamar pertama. Mas Agung dan Mas Dani. Jika pintunya
terbuka dan kulongokkan kepala ke dalam, mereka selalu akan menawariku
makanan. Dan bertanya dengan logat sundanya, "Baru pulang, Mas?" Aku pun
membalas, "Bagaimana codingannya, juga jualan sepatu kulitnya?"
Di kamar kedua. Mas Sandi. Jika pintunya terbuka dan
kulongokkan kepala ke dalam, ia akan mengajakku nonton film genre horror
luar negeri di tivi 30 inchi nya. Atau paling tidak diajak menonton
atraksi balap motor dan seni bersepeda di Ipod Apple miliknya.
Di kamar ketiga. Mas Hadi dan adiknya. Jika pintunya
tertutup akan kugedor, jika terbuka akan kulongokkan kepala dan
kusambut, "Brooo.......!!!" Begitu saja. Hahaha. Begitu pula jika hari
sudah siang sedang nampaknya aku masih tertidur di dalam, ia aka
menggedor pintu kamarku dan membangunkan, "Brooo.......!!!" Masbroo ini
adalah partner terbaik buat nonton tivi di selasar teras lantai 2 paling
ujung.
Di kamar keempat, selepas isya'. Tak ada lagi yang lebih
nikmat selain meletakkan segala letih dan keringat di dua tumpuk kasur
busa di dalamnya. Aku sudah tak mampu bergerak lebih banyak. Ingin tidur
lebih awal.
Malam itu udara makin sesak. Suhu kota ini pun semakin
beranjak. Mencairkan butir-butir air dan es yang terbawa mendung yang
merendah. Dan blaaaaaab.......
Seluruh desa Sirnabaya ini padam lampunya. Bersisa gelap
dan riak cakap-cakap manusia. Lebih hening dan tenang. Tak ada lagi
tivi, tak ada lagi alat elektronik yang membisingkan telinga. Hening dan
tenang. Perlahan atap-atap kosan ini mulai terhujam rinai-rinai kecil.
Tik....tik....tik.....
Begitu seterusnya, dan berkelanjutan.
Tik...tik...tik...
Begitu nyaring memecah keheningan dan ketenangan gelap. Seolah hanya
rinai itu yang ingin diperdengarkan Tuhan, pada semua makhluq yang
dilimpahi sejuk airnya. Sebuah melodi alam, yang menyejukkan.
Tik...tik...tik...
Butirannya menjamah bumi, terpecah dan terpancar. Menyeka setiap jengkal
tanah dan jalanan. Membasuh wajah muram kota di sepanjang siang tadi.
Menggantikannya dengan udara yang mengandung lebih banyak bulir air,
yang menyejukkan.
Tik...tik...tik...
Hujan pertama di kota ini. Betapa indahnya. Maha suci Tuhan dengan
segala limpahan karunianya dari langit. Kemudian Tuhan tumbuhkan dengan
air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Kemudian dari situ dijadikannya
tanaman-tanaman yang menghijau. Lalu dikeluarkan daripadanya butir-butir
dan buah-buah yang banyak. Hingga menjadi kebun kebun anggur dan delima
yang mengindahkan pandangan. Mashaallah.
Aku pun terjaga, beranjak dari belaian gelap. Kembali
menengadahkan kedua tangan ini di antara rerintikan. Menjadikannya
sebagai embun penyejuk, di dalam singkatnya perjalanan.
0 comments