...
"Maaf, ya, rumahnya kecil," kata pemuda itu pada istrinya
sebakda pernikahan. "Kontrakan pula." Dia berusaha tersenyum meski ada
yang terasa membebani.
"Tak apa," ujar sang istri dengan wajah ridha lagi bahagia.
Senyumnya mengembang sempurna. "Jangan terlalu dipikirkan," lanjutnya,
"yang sempit akan terasa luas asalkan hati kita juga lapang."
Hati lelaki muda itu tiba-tiba seperti disergap sejuk embun
pegunungan. Tetapi tetap dijajakinya pemahaman istrinya. "Bagaimana
jika nantinya kita harus mengontrak rumah seumur hidup karena aku tak
sanggup membeli rumah untuk kita?"
Istrinya tersenyum lagi. "Tidak apa-apa Sayang," ujarnya
kini dengan nada bermanja. "Punya rumah itu tidak wajib. Tak memilikinya
bukan berarti dosa. Kalo shalat baru wajib. Tidak shalat barulah dosa."
Sang istri tertawa kecil, memperlihatkan betapa manis gigi gingsulnya.
Lelaki itu terhenyak makin kagum pada wanita yang
sebenarnya belum terlalu dikenalnya. Hanya dua atau tiga pertemuan di
rumah seorang ustadz. Tanya jawab yang singkat tapi bermaknalah yang
membuat mereka memutuskan menikah. "Memangnya kamu tidak ingin punya
rumah, Sayang?" tanyanya dengan berdebar.
"Ingin sekali, amat sangat ingin," sahut sang istri, "yang besar, megah, mewah dan berada di tengah taman yang sangat indah."
"Wah," timpal suaminya, "dengan keadaan sekarang, aku tidak
tahu apakah sampai akhir hidupku aku akan mampu membelikannya untukmu."
"Tenang saja, Sayang," kata istrinya dengan riang, "cukup
bagi kita punya rumah di surga. Yang di dunia, kita nikmati saja apa
yang ada."
...
(Bukan Empunya, Tapi Apa Jawabnya di buku #LapisLapisKeberkahan, Salim A. Fillah)
0 comments