Ada satu aksioma klasik dalam peradaban Islam yang
diformulasikan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq. Khalifah pertama. Menurut
beliau, jika pasar memenangi Masjid, maka Masjid akan mati. Tapi jika
Masjid memenangi pasar, maka pasar akan hidup. Maka diantara misi
peradaban Islam adalah menjaga agar Masjid memenagi pasar, karena itu
berarti juga menjaga kehidupan pasar. Misi itu kini kelabu, karena pasar
telah memenangi masjid. Ekonomi kita pun disebut ekonomi pasar. Bahkan
sekejap lagi, akan ada ‘pasar bebas’.
Di awal telah dijelaskan bahwa sangat keliru
mengidentifikasi jahiliyah sebagai keterbelakangan. Ya, memang. Dalam
masyarakat terbelakang mungkin kita akan menemukan jahiliyah dalam
bentuk yang mudah dienali karena juga ‘primitif’. Tetapi estafet
jahiliyah telah diterima dengan manis oleh generasi penerus.
Berdengunglah kini seruan menuju tatanan dunia baru. Ya, inilah dunia
baru yang jahiliyahnya begitu tertata. Ia menjadi teori-teori ilmiah
yang sulit dibantah. Ia menjadi istilah-istilah mewah yang diucapkan
dengan gagah. Ia menjadi sistem-sistem terstruktur yang menggerakkan
roda politik, gerigi ekonomi, rantai sosial, dan patron budaya.
Berhala-berhala seakan berlomba untuk merubah wujudnya agar
tampil lebih elegan di putaran zaman. Ada yang tak banyak merubah
dirinya seperti penyembahan benda angkasa. Penyembahan bintang dan benda
angkasa hanya memindah tempat ibadahnya ke halaman tabloid dan majalah.
Ia berganti nama baru: zodiak dan horoskop.
Ada juga yang metamorfosisnya hampir sempurna. Inilah
berhala kupu-kupu. Dunia sedang menyaksikan da’wah agama
paganis-konsumerisme melalui iklan di televisi. Dan setiap waktu
berbondonglah penyambut seruan itu menuju tempat-tempat ibadah elegan
yang kini menjamur sampai pinggir kota: Mall-mall megah.
Allah memberikan pasar sebagai tempat tinggal bagi Iblis.
Anak turunnya telah membangunnya menjadi istana peribadatan yang megah.
Di sini bertahta berhala baru bernama Trend dan Mode. Mungkin ini
metamorfosis sempurna dari Lataa dan ‘Uzza. Mereka didesain menjadi
salah satu sumber pemborosan. Pemborosan adalah proyek memperbanyak
saudara syaithan.
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaithan, dan syaithan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al Israa’ 27)
Ini bukan soal pemenuhan kebutuhan. Karena kini orientasi
massa telah diubah dari need kepada want. Bukan soal punya uang atau
tidak punya uang. Ini soal eksploitasi –ekonomi, budaya bahkan politik-
terhadap konsumen dengan imaji-imaji sesat. Iklan telah mengajarkan
bahwa wanita dihargai hanya sebatas kilau rambut, kemulusan wajah dan
putihnya kulit. Iklan telah mendidik kita untuk menstandarkan kebenaran
pada penilaian manusia kebanyakan tanpa nalar dan sikap kritis. Inilah
varises yang menyerang pembuluh peradaban kemanusiaan. Bahkan di sini,
di dalam rumah kita, benda-benda telah menjadi rujukan utama dalam
menyikapi kehidupan. Ukuran mulia dan hina telah terjenjang dalam
besaran materi.
“Adapun manusia apabila Rabbnya menguji, lalu ia
dimuliakan, dan diberiNya kesenangan, maka ia berkata, “Rabbku
memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya menguji lalu membatasi rizqinya, dia
berkata,”Rabbku menghinakanku!” (Al Fajr 15-16)
Berhala-berhala itu bermetamorfosis. Sempurna. Bagaikan
kupu-kupu. Hati-hatilah jika ia sempat bertelur di lekuk-lekuk otak.
Maka ia menjadi teori-teori ilmiah, riset-riset empiris, dan
subjektivitas yang diobjektivikasi. Dan disembah.
Berhala-berhala itu bermetamorfosis. Sempurna. Bagaikan
kupu-kupu. Hati-hatilah jika ia sempat bertelur di labirin hati. Jadilah
ia berhala terbesar yang akan bertahta dalam jiwa. Namanya, hawa nafsu.
Dan disembah.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai sembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan
ilmuNya? Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan di atas penglihatannya...” (Al Jatsiyah 23)
Ada kata-kata menarik dari Sidharta Gautama dalam Samyutta
Nikaya I:117 tentang sang hawa nafsu. “Seandainya ada gunung emas, dua
kali lipat sekalipun tidak akan cukup untuk memuaskan satu orang
manusia. Pahamilah hal ini, dan hiduplah sepatutnya.” Mirip hadits
tentang emas seberat gunung Uhud bukan? Tapi sayang. Sidharta juga
disembah sebagai berhala. Who knows? Bisa jadi kelak dia akan berlepas
diri di hadapan Allah dari semua yang menuhankannya. Yang jelas,
berhala-berhala itu bermetamorfosis. Sempurna. Bagaikan kupu-kupu.[]
(Dari buku Salim A. Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, halm: 56-58)
0 comments