Dia
adalah sosok yang sederhana. Diantara empat bilik kamar di koridor
pendek lantai dua milik Pak Haji, pintunya selalu terbuka, kedua setelah
saya. Namun untuk soal kebersihan dan kerapihan, dialah orangnya. Tak
pernah kujumpai kasurnya bergeser sesenti ataupun kesetnya berpindah
posisi, saat aku pulang malam dan mengagetkan lamunannya.
Dia
adalah sosok yang sederhana. Seorang yang ramah di usianya yang ke-33.
Sudah dua bulan ini menjadi sahabat baru di kota kecil ini. Asli dari
Bandung. Sekilas memang penampilannya menakutkan, dengan beberapa tato
sederhana di lengan kiri pada tubuhnya yang tinggi, namun sedikit kurus.
Berambut ikal dipotong pendek sepapak. Akan tetapi dia baik hati.
Suaranya pelan, sedikit parau. Murah senyum di raut mukanya yang dewasa.
Seorang
yang sederhana. Bapak dari dua anak yang ditinggalkannya di kampung
halaman bersama sang istri. Dan hari minggu seperti ini adalah waktunya
ia berpulang. Sedari sabtu siang hingga jelang malam nanti. Menjaring
kerinduan bersama keluarga. Bermain bersama anak-anaknya. Bercengkerama
dengan istrinya. Memberikan titipan rizqi dari jerih payahnya
semingguan.
Seorang
yang sangat sederhana. Dia hanyalah sopir pribadi seorang bos pemilik
pull bus jemputan karyawan pabrik dan bis charteran. Soal pendapatan pun
dari segi angka sudah lebih dari cukup. Beberapa hari yang lalu kami
mengobrol semalaman sembari menunggu Mas Hadi-juga salah satu penghuni
bilik kos Pak Haji-pulang.
"Alhamdulillah
sekarang a'...",tuturnya pelan,"sebulan adalah 2 juta, belum uang
makannya". Aku pun tercekat. Menyimpulkan senyum manis coba menghargai
kejujurannya. Padahal dalam hati aku bertanya pada diriku sendiri.
Itukan tidak mencapai angka yang masuk ke rekeningku tiap bulannya.
"Dulu
mah yaa, waktu masih di Bandung", masih dengan logat sundanya yang
khas, "saya pernah digaji 300 ribu sebulan, untung aja istri mau
nerima". Aku semakin tercengang. Bisakah seperti itu?. "Waktu saya
pindah kerja jadi sales makanan ringan di toko-toko", dia melanjutkan
kisahnya,"Alhamdulillah dapet 700ribu. Eh istri kaget pas saya kasih
segitu. Terus pas akhir bulan dia bilang ama saya, 'Yah-panggilan istri
ke sahabat saya-ini duitnya kok masih sisa banyak buat apaan yaa?".
"Berarti
sekarang lebihnya makin banyak dong Mas?", tanyaku bercanda memecah
suasana. Karena beberapa menit sebelumnya aku lebih banyak diam
berkaca-kaca. "Yee, itu mah dulu atuh Mas Ferdy-dia selalu salah
menyebut namaku-, waktu anak baru satu dan masih kecil, sekarang mah
udah dua, yang paling gede udah SD lagi", tangkasnya penuh tawa.
"Alhamdulillah, dikasih seberapa aja istri ga pernah nuntut".
_______________________
Ada
rasa iri dari lubuk hati ini. Ketika engkau begitu berbahagia dengan
segala dan sejumlah rizqi yang dititipkan Tuhan untukmu, juga
keluargamu.
Ada rasa rindu ingin segera kujemput. Ketika engkau begitu merasakan
bulir-bulir keberkahan atas segala ihtiar dan jerih payahmu. Dengan
bangganya kau katakan, "buat istri sama anak-anak"
Di
kondisiku yang sekarang. Yang jujur bergaji lebih tinggi darimu, aku
sangat jauh di bawahmu dalam memaknai rasa berkah dan nikmat atas segala
titipan rizqi dari Tuhan. Pun aku juga sendu menatap banyak orang yang
begitu semangat berpulang kerja begitu larut, apalagi jika hanya
diniatkan untuk menambah digit angka di catatan rekening masuk tiap
bulan.
Ingin
kutanyakan pada kalian, sudahkah kalian bersyukur? Sejenak merasakan
berkah atas seberapa pun nikmat dan rizqi yang sesungguhnya hanya
dititipkan padamu?
Jadi tak perlu lagi mengutuk dan menyalahkan keadaan. Apalagi menyalahkan Tuhan.
_______________________
Satu
hal lagi yang membuatku iri padamu. Setiap pagi kita saling menyapa di
teras bawah. Aku akan membeli sarapan sedang engkau sudah menunggang
motor bersiap kerja. Kita berdua sama-sama berbaju batik. Bedanya aku
hanya berbatik setengah jam sedang engkau berbatik sepanjang hari.
Hahaaa. Doakan saya bisa berbatik sepanjang hari seperti halnya engkau.
0 comments