Agustus di tahun 2010...
Angin
selatan masih berhembus perlahan. Membuyarkan riak-riak awan mendung
berarakan. Mengalirkan sejuk udara di sekujur badan yang dilanda dahaga,
karena sekarang ini adalah minggu kedua bulan ramadhan.
Pukul
empat waktu setempat, matahari sudah bersembunyi malu di balik punggung
gunung Lawu. Menyisakan temaram kemuning di sisa langit menjelang
senja. Tepat di bawahnya aku duduk tepekur memandang sepanjang jalan di
depan rumahku, sendiri. Tak seperti hari-hari biasanya, di jam itu aku
sudah mandi merias diri. Kembali mengecek beberapa pesan masuk di
handphone kemudian diam lagi dalam lamunan.
Hingga
akhirnya suara ibu mengagetkanku tanpa permisi. "Mas, barang-barang
yang mau di bawa udah dimasukan ke tas semua kan?". Kujawab pelan,
"Sampun bu". "Nanti mas Nardi habis maghrib udah kesini lhoo", sembari
ia duduk di kursi sebelahku, "Kasih tau temenmu yang di Maospati itu. Ga
enak kalo mas Nardi`nya nungguin". Aku semakin menggumam, "He'eem".
Kupandangkan
muka kembali ke sudut-sudut jalan kecil di depan rumah. Langgar kecil
tepat di seberang rumahku tempat aku belajar mengaji dulu. Bangunan
rumah di kanan dan kiri yang selalu dihuni para tetangga nan ramah. Anak
kecil yang berlarian bebas menggelikan. Baris-baris tiang listrik
sandungan benang layang-layangku dulu. Pohon-pohon mangga yang bunganya
bermekaran. Semuanya berjalan kian melambat dalam lensa mataku. Ingin
kurekam banyak-banyak, di memori otak.
__________________
Tahun
itu aku baru menamatkan pendidikan SMK ku. Hanya bermodal alasan
sederhana memilih pendidikan SMK, lulus dan bekerja. Tak perlu
muluk-muluk karena aku dan keluargaku hanyalah orang biasa pada umunya,
selalu pas-pasan. Mengolah sawah, mencari rumput, mengurusi ayam dan
sapi adalah potret umum pas-pasannya hidup di desa kecil di sudut
kabupaten Magetan. Pernah dulu bapak menawariku pilihan, "kita jual saja
tanah kita yang di sana, buat Mas masuk jadi tentara". Setidaknya, ber
almamater SMK membuatku cukup percaya diri untuk mengatakan, "Ah, tidak
usah".
Yah,
ternyata Tuhan punya kehendak lain. Aku dipilih jadi segelintir orang
beruntung dari kota kecil ini. Berkuliah, beasiswa, full, yang dulu tak
pernah masuk dalam kamus perbendaharaanku. Bukan sekelas UI, UGM, atau
Undip serta beberapa nama perguruan tinggi yang dikenal banyak orang
juga banyak tetanggaku. Hanya kampus kecil yang tak tau dari negeri
antah berantah yang mana. Aku pun baru sekali mendengarnya. Politeknik
Manufaktur Astra. Tapi setidaknya, menuju kesana cukup membuatku percaya
diri untuk menjawab, "Yang penting, Jakarta!!!"
__________________
Redup
mentari kian terasa menyesak. Mulai dua jam dari waktu ini aku sudah
akan berjalan menuju negeri antah berantah itu. Kucoba tanggalkan
kerinduan yang sudah datang menyergap ke arah tas ransel besat pemberian
mbak Yanti di ruang tengah. Membuka beberapa tumpukan atas. Berharap
tak satu pun terlewat. Sedang di dalam kamar ibu dan adikku menjahitkan
kantong celana yang diisi sepuluh lembar uang seratus ribuan, hasil
pinjaman. Ah, ibuu...
Adzan
maghrib pun berkumandang, saatnya menjemput nikmat rizqi atas seharian
berpuasa. Sekaligus mengantar keberangkatanku beberapa menit berselang.
Kini saatnya aku berpisah, meninggalkan desa-desa, kawan-kawan,
kenangan, bapak, ibu, adik, nenek, tetangga tercinta, anak-anak kecil
yang manja.
Aku tau di balik air mata tipis mereka ada tawa, ribuan doa, juga setangkup harapan.
Senada dengan aku yang tak kuasa berlinang, disergap kerinduan.
"Hati-hati, jaga diri baik-baik. Doa ibu menyertaimu".
Senada dengan aku yang tak kuasa berlinang, disergap kerinduan.
"Hati-hati, jaga diri baik-baik. Doa ibu menyertaimu".
Hingga mobil yang kutumpangi berderu, membeku. Oleh terpaan angin selatan yang mengharu biru.
__________________
Pada epilog....
15
jam sudah kami bertiga menembus ratusan kilometer pulau Jawa. Mentari
pagi yang baru pun menyapaku. Sinarnya mencuat-cuat oleh bariasan truk
tronton dan bus-bus besar, di jalanan yang sangat lebar. Di kanan dan
kirinya bangunan-bangunan besar nampaknya sepi tak bersahabat, mirip
tempat yang terusir. Katanya ini kawasan industri. Dalam gumamku, ini ya
yang namanya jalan tol? Segini lebarnya kok masih saja macet yaa, kalo
di tipi-tipi itu beritakan?
Ah.....
Ini bukan lagi televisi atau dunia mimpi. Bukan cerita dan kisah
pendahuluku yang ke Jakarta untuk sekedar mencari pekerjaan. Ini
kisahku, ke Jakarta mencari ilmu, rumah baru, sahabat baru, dunia baru,
dan pribadi yang membaru.
Kusambut hari baru dalam catatan sejarah hidupku. Dengan teriakan lantang, "Masa muda, aku datang...!!!"
0 comments