Pada suatu pagi, ia sudah berseragam rapih, biru dan putih.
Dengan dasi biru "Tut Wuri Handayani" yang dikalungkan di kerah
lehernya. Sudah hampir pukul enam, ia terburu-buru menghabiskan
sebungkus sarapan yang dibelikan ibunya di pasar kecil di dekat
rumahnya, setelahnya ia bergegas menuju perempatan tempat pasar kecil
itu bernaung. Menunggu mobil angdes-Angkutan Pedesaan-yang setiap pagi
mengantarkannya ke sekolah, SMPN 4 Magetan.
Tahun 2005, duduk di bangku kelas dua, dalam ingatan.
Mungkin adalah masa masa sulit bagi sopir angdes trayek Magetan-Truneng.
Bagaimana tidak angkutan warna merah ini adalah satu-satunya yang
menuju kampung kecil ini. Sedikit demi sedikit ia tergeser, tergantikan
sepeda motor yang bermunculan sana sini. Dahulu setiap satu jam ia akan
melintas di perempatan kecil itu, namun kini para sopir itu hanya akan
'narik' dua kali, pagi dan siang. Yaitu pada waktu anak-anak sekolah dan
ibu-ibu berangkat ke Pasar Sayur Magetan serta saat mereka berpulang,
siang nanti.
Prihatin memang, hanya 3 angkutan di pagi hari. Pukul 6
tepat, pukul 6.15, keduanya ngetam di pintu air dekat kantor kepala desa
truneng. Dan yang paling siang pukul 6.35 yang 'ngetam di perempatan
desa Truneng paling timur. Selepas itu tak ada lagi.
Langit sudah hampir terik saat ia sampai di perempatan itu.
Sinar matahari yang tipis memantul oleh rambutnya yang diminyak klimis.
Sudah agak sepi, ia terlambat menaiki angdes pertama. Pun kini ia hanya
duduk sendirian. Beberapa teman yang biasa berangkat dengannya sudah
beberapa menit yang lalu meninggalkannya. Ah, masih ada angdes kedua,
pikirnya. Yang dinanti pun tak kunjung datang, sedang mentari makin
terang dan waktu kian siang. Ia tak mau terlambat.
Akhirnya angdes terakhir pun melintas. Angdes keduanya
tidak ambil trayek pagi itu. Lewat senyum, Pak Kepeng, sopir angdes yang
terakhir pun meminta maaf, ia berbelok pelan dan tak menghentikan laju
kendaraan tuanya. Sudah sangat penuh sampai bergerombol di pijakan
paling belakang. Tak mampu lagi diselipkan, satupun tak bisa. Akhirnya
anak kecil berseragam biru putih itu hanya ternganga, tak percaya.
Membayangkan itu adalah hari keterlambatannya yang pertama masuk
sekolah.
Kakinya gemetar menggerakkan sepatunya yang kucal,
kebingungan mencari alternatif keberangkatan, mau pulang dan mengadu ke
ibu? Ah, sama saja. Pagi pagi buta tadi bapak sudah berangkat ke sawah.
Keringatnya mulai bercucuran melunturkan minyak rambut 'tancho' dan
mengalirkannya melewati pelipis. Hingga nampak mukanya yang kusam
berkilau minyak, sembab dan menyedihkan. Berkali kali ia menengok kanan
dan kiri berharap ada bantuan datang, atau melihat ibunya ke pasar lagi
agar setidaknya ia tak sendirian. Jauh-jauh ia pandangi jalan menuju
rumahnya. Ah, ibu mana ya??
Hingga ia tersadar oleh bunyi klakson kecil di seberang
jalan. Seorang bapak berpostur kecil dengan motor Astrea putih tahun 80.
Ia kenali bapak itu adalah tukang ojek yang tinggal di desa Kentangan.
"Ayoo, bareng sini", katanya pelan. Ia masih belum beranjak. Tak faham
maksud dari bapak itu. "Saya antar sampai 'Jepla'an', Dhek", pungkasnya.
"Angdesnya sudah ga ada lagi". Bapak itu tersenyum menampakkan
kesungguhannya. Akhirnya anak kecil itu pun berdiri, berlari menuju
bapak bermotor Astrea putih dengan berkaca kaca. Asapnya mengepul
tinggi-tinggi meninggalkan perempatan. Membawanya sedikit lebih jauh
meninggalkan rumah, mengantarkannya lebih dekat menuju sekolah. Dalam
diam, dari hati ia berjanji, "Suatu saat harus kubalas budi baik bapak
yang mau memberikan tumpangan ini".
-------oOo-------
Anak kecil itu kini telah tumbuh dewasa. Sudah 4 tahun
meninggalkan kampung halamannya. Hari kemarin ia pulang, melewati rumah
bapak bermotor Astrea putih. Bapak itu berdiri di teras rumahnya yang
tak jauh dari 'Jepla'an' tempat anak kecil itu diturunkan dari motornya.
Ia menyimpulkan senyum yang masih sama, ketika berhenti di perempatan.
Mengingatkan anak kecil yang sudah tumbuh dewasa ini pada janjinya.
Hanya bisa membalas budi baiknya lewat senyum dengan mata terpejam,
sampai sekarang.
Kelak dari kisahnya bertemu bapak bermotor Astra putih lahirlah cerita dramatis Nanar dalam catatannya. Juga kisah bertajuk Cinta Sepanjang Jalan.
Serta potongan-potongan perjalanannya yang belum sempat
tertuang dalam tulisan dan pengalamannya bersapa dengan banyak orang
yang baru ia kenal lewat motor tua kiriman bapak dari kampung halaman.
Janji masa kecil itu terus memberikan inspirasi. Membuahkan tunas-tunas kebaikan.
Mendewasakan.
A little promise. Waah.. bagaimana yah perasaan si bapak waktu melihat anak kecil tadi sudah besar..
ReplyDeleteSama. Tatapannya seperti yang dulu. Sangat sederhanaa
DeleteTapi kutahu perasaannya tak sesederhana itu. :)