Sosok
wanita paruh baya itu berjalan pelan, tampak dari kejauhan.
Berulang-ulang kali tangan kanannya ditangkupkan di atas pelipis
matanya, menahan sengat matahari sore yang menyisakan hangat siang.
Apalagi jalan sepanjang Pondok Cabe yang begitu lapang di sisi baratnya,
oleh landasan kecil pesawat terbang milik Angkatan Udara. Membuat
keringatnya bercucuran menembus jilbab hitamnya yang agak kusam, oleh
debu jalanan. Karena hanya ia seorang yang berjalan kaki, sedang di
kanannya mobil dan motor bersalipan memenuhi jalan. Tak urung, sesekali
disekanya keringat yang melumcur deras di pipinya oleh tangan kiri yang
sedang menenteng plastik kresek hitam.
Kian lama makin mendekat. Di tempatku duduk mengamatinya.
Seperti
biasa, dulu setelah jam 4 sore aku berlama-lama duduk di warung kecil
milik Mas Khoirin setelah pulang magang. Tempatnya tepat di samping
gerbang tempatku magang, di pinggir Jalan Besar Pondok Cabe sangat cocok
untuk sekedar menghabiskan waktu sore sembari memandang mentari
mengatupkan sinarnya. Membicarakan banyak hal dengan mas Khoirin dan
adik iparnya yang masih SD, Dek Tri yang polos nan manja.
Di
sela pertanyaan Dek Tri yang selalu bertubi-tubi padaku, wanita itu
tepat melintas melewati dipan yang kududuki. Umurnya sepertinya tak jauh
beda dengan ibuku yang di rumah, di angka 40an atau bahkan lebih.
Seketika itu pula kutanyakan padanya dengan penasaran,
"Mari buu, selamat sore?".
Dia pun menolehkan muka dan menjawab pelan, "Iyaaa".
"Mau kemana bu?" Tanyaku yang masih penasaran.
"Ke Sawangan mas"
"Oooo....kok jalan kaki bu?" Aku semakin penasaran.
"Iya mas, saya udah jalan kaki dari Bintaro"
"Haaaaaah" Seketika aku terkejut.
"Bintaro???Kok jauh amat ya Bu?" Aku tak percaya
"Iya mas, saya pengen ke tempat anak saya di Sawangan"
Tanpa
berfikir panjang aku bergegas merapikan buku catatanku yang sedari tadi
dicoret-coret Dek Tri, mengalungkan tas dan menuju motor yang parkir di
samping dipan. "Mari bu saya antar"
Dia sedikit kaget, "Ga pa pa itu mas? Jadi ngrepotin"
"Udah ga pa apa kok. Tapi ntar ibu tunjukin jalannya ya?? Saya belum pernah ke Sawangan. Hehehe"
Dan kami pun beranjak. Meninggalkan Mas Khoirin dan Dek Tri, juga mentari yang kian menipis.
Dengan
masih kaget. Tak bisa kubayangkan seorang wanita paruh baya berjalan
kaki sepanjang itu. Entah mungkin sudah 10 kilometer lebih dia berjalan
dari setelah Zhuhur tadi.
Diceritakan
olehnya anaknya yang termuda di rumahnya yang beranjak dewasa namun
susah diatur, sedang sang bapak yang sedang sakit. Akhirnya di titik
sulit itu dipilihnya mengunjungi anak tertuanya yang sudah berkeluarga
di Sawangan dengan segala keterbatasan yg dimilikinya. Mungkin juga
dengan kenekatan. Ah, itu bukan urusanku. Terlalu banyak yang memutar di
otakku. Apalagi jalan yang kutempuh saat ini sama sekali belum pernah
kulewati.
Entah
sudah berapa jauh kami berjalan, entah sudah berapa hal yang kita
bicarakan. Semua masih tertahan di benakku, kok bisa ya?? Ini jalan udah
jauh banget. Akhirnya kita berhenti di salah satu masjid. Hari sudah
gelap. Dan aku pun belum tahu dimana itu daerah Sawangan.
Selepas
magrib kami berjalan kembali. Ini benar-benar gelap. Setelah berjalan
sejurus lurus kami bertemu pertigaan yang agak ramai kemudian berbelok
kiri. Dari situ jalanan semakin sepi. Tak ada rumah, kanan kiri hanya
ladang tebu yang gelap. Diselang selang oleh ladang dan tanaman padi.
Panjang, itu benar benar jauh. Hingga sampailah kami di satu perempatan
dengan bundaran kecil. Dari situ, barulah kami masuk di sebuah komplek
perumahan yang belum setengah jadi.
Jalan
yang masih bolong di sana-sini serta tanah yang masih kosong di kanan
kiri. Tak jauh beda dengan jalan di kampungku menuju kuburan. Lampu
penerangan pun hanya berpendar dari motor yang kami kendarai. Juga oleh
satu dua motor lain yang berpapasan dengan kami. Hingga akhirnya kami
masuk di sebuah jalan selebar satu mobil dan mulai terlihatlah beberapa
rumah. Kami menyusur jalan berbatu kerikil melewati komplek perumahan
sepi menuju jalan yang paling ujung.
Tepat sebelum isya. Dan akhirnya kita pun sampai.
Dengan
harap cemas diketoknya gerbang rumah anak perempuan tertuanya. Tak ada
jawaban pun. Dari sorot matanya yang sayu terlihat sedikit rasa ragu,
dan takut. Mungkin takut mengganggu. Diulanginya dengan memanggil nama
cucunya, ah aku lupa nama mereka. Dan sahutan kecil itu pun melengking
dari dalam rumah
"Mamaa, nenek dateng nii"
Ah, akhirnya...
.................
Di sepanjang jalan pulang aku terus berfikir. Di setiap jengkal aspal yang kupacu dengan motor tua ku ini aku termenung.
Jika
dia meneruskan berjalan kaki dari Lapangan Terbang Pondok Cabe hingga
rumah cucunya itu, berarti akan berjalan sejauh Bintaro hingga warung
Mas Khoirin, kurang lebihnya.
Aku kembali bertanya pada diriku. Kok bisa ya??
Hingga
akhirnya di salah satu stasiun televisi, Dik Doang (artis dan komedian)
berpendapat soal cinta. Cinta itu bukan berharap. Tapi cinta itu
menimbulkan harapan. Kembali aku teringat sang Ibu.
Yah,
walau tak sepenuhnya sama dengan sang Ibu itu rasakan. Mungkin ada
harapan di tempat anak tertuanya untuk sang bapak yang sedang sakit,
untuk anak termudanya yang `menyakitkan` hati.
Dan baginya ia tak sepatutnya ia duduk diam penuh harapan, tapi dijemputnya harapan itu. Meskipun dengan segala keterbatasan.
Cinta,
yang menimbulkan harapan. Akan ketenangan fikiran dari segala
permasalahan hidup, justru harus diusahakan dan diupayakan. Tentunya
dengan penuh kesabaran dan kesyukuran. Seperti pesan Umar bin Khattab.
ra, "Jadikanlah sabar dan syukur sebagai tunggangan bagi kalian".
Cinta,
yang menyembulkan harapan. Oleh sang Ibu diungkapkan dengan indahnya
melalui ikhtiar yang sungguh luar biasa. Di dalam diamnya. Di bulir
keringatnya. Di atas derap langkah kakinya, yang menggetarkan
tiang-tiang surga.
Itulah cinta, di sepanjang jalan...
0 comments