Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tapi sang istri meninggal
ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga
usai dua tahun. Maka dibesarkan putera semata wayangnya itu dengan penuh
kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan
sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan berjiwa merdeka.
"Anakaku," katanya di suatu pagi, "Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu
ini separuh manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga
kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dan membebaskanku.
Dan jadilah kita orang merdeka. Ketahuialah Nak, orang bebas yang paling
merdeka adalah dia yang bisa memlilih caranya untuk mati dan menghadap
Illahi!"
"Ketahuilah," lanjutnya, "Seorang yang syahid di jalan Allah itu
hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh
puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang ke sana-kemari
dalam tubuh burung hijau di taman surga, dan diizinkan baginya memberi
syafa'at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan
berjihad lalu syahid di jalanNya!"
Sang anak mengangguk-angguk. Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar-dinar di
dalamnya gemerincing. "Mari mempersiapkan diri", bisiknya. "Mari kita
beli yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad di
jalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada
kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan."
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang
berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar menjumbai. Tampangnya
mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya lebar dan
kukuh. Rigkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.
Semua tetangga datang untuk mengaguminya. mereka menyentuhnya, mengelus
surainya. "Kuda yang hebat!" kata mereka. "Kami belum pernah melihat
kuda seindah ini. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan
untuk membeli kuda ini?" Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah, itu simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.
Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. "Wah", seru mereka, "Kalian
masih waras atau sudah gila? Uamg sebanyak itu dihabiskan untuk membeli
kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun
belum tentu ada!" Kekaguman di awal tadi berubah menjadi cemooh.
"Tolol!" kata salah satu. "Tak tahu diri!" ujar yang lain. "Pandir!"
"Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah," ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dengan penuh
cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput segar, jerami
kering, biji-bijian, dedak, air segar, kadang malah ditambah madu. Si
kuda dilatih keras, tapi yak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Kini
mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-ama menanti
panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah menengok ke kandang,
dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji
kayu terkoyak remuk.
Kuda itu hilang!
Berduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa.
Mereka bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga
menganggap keduanya kelewatan. "Ah, sayang sekali!" kata mereka,
"Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak
beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan mabisi kalian,
lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!"
Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya. "Kami tak tahu,"
ucap serempak keduanya, "Ini rahmat atau musibah. Kami hanya
berprasangka baik kepada Allah."
Mereka parah. Mereka coba untuk menghitung-hitung uang dan
mengira-ngira, kapan bisa membeli kuda lagi. "Nak," sang ayah menatap
mata puteranya, "Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah dtang,
kita harus menyambutnya." Si anak mengengguk mantap. Mereka kembali
bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan
riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan
anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di kandang itu
mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi, itu
kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!
Tapi kuda itu tak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda
liar! Itu pasti kawan-kawannya. Mereka datang dari stepa luas untuk
bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih?
Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang
seorang bekas mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka
bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawea untuk
kemuliaan agama Allah, kelak jika panggilanNya berkumandang? Atau memang
itu yang mereka inginkan?
"Bertasbih kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Q.s. Ash Shaff [61]:1).
Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. "Luar biasa!"
kata mereka. "Kuda itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini
kembali membawa mereka menggabungkan diri!" Mereka semua mengucapkan
selamat pada pemiliknya. "Wah, kalian sekarang kaya raya! alian orang
terkaya di kampung ini!"
Tapi si pemilik kembali hanya tersenyum. "Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
(to be continued....)
[ dari buku Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah ]
0 comments