Allah know the best for us...
Barangkali menyenangkan menjadi seperti Danang A. Prabowo. Kala itu ia
menuliskan 200 mimpinya di lembaran-lembaran kertas ketika memasuki
bangku kuliah di IPB, Bogor. Atas percikan semangat dosennya pada suatu
waktu. Dan kini ia patut berbangga, sudah menyelesaikan mimpinya yang
kesekian ratus. Berkuliah di Jepang, bahkan tinggal di sana. Menikmati
tunas-tunas bunga sakura yang bermekaran. Menyebarkan wangi pada dunia.
Barangkali menyerukan menjadi ibarat Andrea Hirata. Dari kampungnya yang
terpencil di ujung Belitong, terselip mimpi besar mengunjungi sungai
Seine, di jantung kota Paris. Atas usapan mendalam dari lisan gurunya di
kelas suatu pagi. Dan buku Edensor karya tangannya telah membekukan
perjalanan panjang melintasi jalanan di negri-negri Eropa, hingga
Afrika. Merasakan persabatan yang begitu lekat. Menyalakan pendar yang
menyilaukan mata.
Ah, aku jadi ingin seperti mereka. Beranjak dari 'kursi' yang sudah lama kududuki. Melangkah beribu tapak yang lebih jauh.
Bukan sebenar-benar di lingkaran Asia, bukan pula di bentangan Eropa.
Cukup satu titik di tengah-tengahnya. Menyeduh secangkir teh hijau
hangat, sehangat semburat cahaya mentari yang terpantul di sepanjang
Laut Marmara. Berkunjung ke Menara Topkapi dan indahnya surga dunia,
Hagia Sophia. Memutari kota di atas sepanjang benteng batu terkuat pada
masanya. Mengenang gemerincing pedang dulu yang dihunus untuk
merobohkannya. Hingga sampailah aku di hadapan di Teluk Tanduk Emas.
Memandang lamat-lamat Bukit Galata yang menyejarah. Dimana kapal dilayar
kembangkan di atas tanahnya.
Agaknya terlalu jauh mungkin mencapai Kota Kunstantiniyah itu. Bukan
untuk waktu yang singkat ini. Jadi mari sedikit kita geser, kita tarik
ulur kembali ke arah tenggara Asia. Melewati Turki, Negri Syam dan
sepanjang pandang Laut Merah. Maka berhentilah kita di daerah transisi
dingin dan panas. Jika siang panasnya membakar ubun-ubun hingga peluh
pun bercucuran. Dan malam menusuk-nusuk sulbi hingga tulang pun
gemetaran. Bukan lagi daerah tropis Asia yang panas sepanjang masa,
apalagi kutub dingin Eropa yang membeku setiap waktu.
Tepat di satu lembah, diantara bukit-bukit gersang di Jazirah Arab-yang
tentunya kini sudah tak sepanas beberapa pulh abad yang lalu-sepasang
suami istri sedang menikmati khusuknya ibadahnya di tempat Sang Ismail
r.a ditinggalkan Sang Ayahandanya. Berpuluh-puluh doa senantiasa ia
panjatkan untuk mereka sendiri, anak-anak, keluarga, juga setiap
fulan-fulanah yang masih mampu mereka ingat.
Akhirnya mereka berdua menyeka lelah di satu sudut menara masjid yang
menjulang. Berlindung dari terik yang sepanjang siang terpendar. Menatap
jauh-jauh ujung langit langit. Teringat olehnya anak-anaknya di rumah,
yang sedang belajar juga ada yang bekerja. Masih ingat titipan doa yang
dihajatkan anak tertuanya sesaat sebelum keberangkatan. "Kalau sudah di
sana, Bun" begitu kata anak laki-laki tertuanya. "Doain mas segera dapat
jodoh yang baik. Seorang wanita shalihah.".
Barangkali indah jika semua mimpi-mimpi kita dikabulkan oleh-Nya.
Even I know that Allah know the best for us,
I'll always show my will to Him
In this two years or little more, i just wanna give all of this love for them.
may Allah blesses.
0 comments