Seusai membasuh sekujur tubuh yang tetap saja kurus, aku duduk termangu
di depan kaca. Menatapi seraut wajah di depan bingkai itu, aku
menelungkupkan daguku diantara kedua ibu jemari tangan. Menyentuhkan
pelan telunjuk yang kutekuk bersama jari-jari yang lain, diantara kedua
bibir yang merah menua. Kedua siku kutumpu tepat di kedua lutut yang
masih bergetar pelan.
Kutatap dalam-dalam kedua mata itu. "Hey..." Aku pun memulai tanya. "Kamu yang di sana. Siapa gerangan engkau?"
Dia hanya diam, dan menatapku jauh lebih dalam. "Mengapa kau di sini. Pun apa yang kau cari?", kulanjutkan pertanyaanku.
Tetap saja, dengan sikap kaku kikuk tanpa ekspresi. Menopang dagu,
menyembunyikan bibir dari kekatanya diantara jemari tangan. Hanya sorot
matanya yang berbahasa, dalam.
Perlahan kuingat dia. Seorang muda yang sedang mempersiapkan
keberangkatan hijrahnya ke negri orang. Menenteng tas besar. Membopong
sekarung beras dari sawah bapak ibunya. Dititpkan pula padanya berpuluh
lembar uang yang dijahitkan aman di saku celana. Dengan berat hati,
dilepaskan dia dari genggaman erat kedua orang tuanya. Diiringi pelukan
bertubi dan jabat tangan yang panjang di jelang malam.
2010-2013. Di bangku kelas, agaknya dia masih pasif. Tak begitu vocal menyuarakan suaranya. Namun selalu gigih menyuarkan semangatnya. Harus selalu di atas Mas Andari, guamnya dalam setiap kompetisi. Hahahaha. Andari, Cahyadi, Agung, Uni juga rekan-rekan dari rantau yang membuat dia merasa dunia ini tak selebar daun singkong. Juga duet maut Beny-Saddam, Gusti, Iqbal dan semua sahabat baru dari Jakarta-yang tidak bisa kusebutkan semua di sini-yang membuat dia kini sudah luwes berbahasa Indonesianya. Tak medhok tebal lagi kawan.
Waktu terus berjalan, perkuliahan pun kian usai. Dia sudah berpindah-pindah tempat tinggal setiap 6 bulan. Bertemu banyak orang dan mau tak mau mengakrabkan diri dengan lingkungan mereka. Kakinya selalu ditempa jalan yang panjang. Lisannya selalu diuji untuk berlaku sopan dengan banyak orang. Setidaknya dengan ibu-ibu kosan itu dia mendapat keluarga baru.
Satu momentum besar dibuatnya di November 2012 silam. Mengakhiri keputusan yang kini masih disesalinya. Beberapa waktu sebelumnya, entah dengan latar belakang apa dia mulai menjalin asmara. Untuk menghilangkan bayang-bayang masa kecilnya dulu. Dengan dia, seorang wanita yang jauh. Saat itu dia belum bisa membatasi diri. Benar-benar belum bisa. Hingga akhirnya di malam pergantian kalender hijriyah itu, diakhiri jalinan yang teralu ranum, atau bahkan mentah. Dan dibukanya pagi di tanggal 1 tahun hijriyah berikutnya dengan keyakinan barunya. Tak ada lagi pacaran setelah ini, kecuali dengan ijab qabul nanti.
2013. Dihabiskan waktunya menekuri tumpukan buku-buku. Ditularkan pula kepada bapak, ibu dan adiknya di Magetan sana. Dikirimkannya paket buku beserta pucuk-pucuk surat tulisan tangannya. Saat paling menyentuh pun dialaminya menuliskan baris kalimat di suratnya, menyisipkan mimpi-mipmi agar ikut didoakan oleh para bidadari pertama itu.
Kanvas yang lain pun mulai dibukanya. Yah, di sini. Di kanvas tempat menulis cerita ini, juga cerita yang lainnya. Ditemukannya dunia baru. Lebih diam dan nyaman.
Pertengahan 2013. Ada tempat baru yang menambat hatinya. Juga menawarkan mimpi yang lebih kompleks. Saat dia mengisi essay pendaftaran Pengajar Muda. Wawasannya dibuat kecil oleh pertanyaan-pertanyaan singkat essay dan formulir online itu. Ah, ternyata saya belum ada apa-apanya ternyata. Ternyata. Walau tak berkesempatan menjadi Pengajar Muda karena ibu yang habis-habisan menolak-juga tak diterima oleh penilai assesor-, dia banyak-banyak bersyukur bekesempatan ikut andil di festivalnya Oktober kemarin. Dari para kawan-kawan Indonesia Mengajar, dia belajar tentang banyak. Yang paling indahnya adalah tentang ini, "Menikmati prosesnya..."
Akhir 2013 dia menamatkan studi D3 nya. Ada sedikit kekecewaan hari itu. Alhamdulillah, sudah saya ikhlaskan. Lagi pula kini dia sudah mulai menikmati padatnya dunia kerja. Lebih letih di badan, namun enteng di fikiran katanya. 14 jam dicoba dilaluinya dengan penuh semangat. Berkeliliing seluruh pabrik mengurus ini itu. Ah, jadi keinget kata-kata yang dia lontarkan sendiri ketika magang dulu, "Jangan pernah lelah untuk selalu dbutuhkan orang lain." Ada banyak sahabat untuk diberi di sini, bukan sahabat untuk memberi kita.
0 comments