-- Prologue --
Seperti halnya film layar lebar yang mendunia, aku ingin memberikan satu
theme song untuk cerita yang kutulis ini. Agar kita berada dalam satu
suasana dan nuansa yang sama. Cukup klik panah putih di lingkaran oranye
itu dan kini kita sedang berjalan di sepanjang Tol Padalarang..........
-- Mimpi Kita............ --
Matahari masih malu menyapaku saat sinarnya jatuh di sisi pipi kanan
dari sela-sela perbukitan. Jalanan yang masih lengang membuat bapak
sopir si sebelah kananku duduk santai menjaga ayunan stir di kedua
genggam lengannya. Raut mukanya tampak tenang menikmati alunan lagu
klasik era 90 tahunan koleksinya yang diputar pada tape mobil dengan
suara pelan. Meluluhkan beberapa kali pertanyaan yang kerap kulontarkan
padanya. "Nyampe jam setengah delapan di Halim bisa kan Pak?". Yaah,
hari itu kami berenam sedang berada di dalam mobil yang seumur hidup
baru sekali kami sewa. Melaju cepat dan sesekali melayang meninggalkan
kota Bandung menuju Jakarta. Target kami, jam enam sudah sampai di
tikungan besar Cikampek (bukan target kami sih, tapi keinginanku lebih
tepatnya).
Di bangku tengah, duduk tenang dua sosok perempuan. Tepat di belakang kursiku Mbak Mur yang adalah sepupuku selalu menawarkan makanan yang dibawanya setiap kali aku menengok ke belakang. Sedang di samping kanannya si Ibu duduk terdiam tak banyak berekspresi menatapi kaca-kaca yang sedkit berembun oleh nafasnya. Memandangi sudut-sudut jalan yang panjang. Tangannya selalu menjaga satu setel jas pinjaman yang dibawakannya untukku, jauh-jauh dari Jawa Timur sana. Ah, Ibuuu. Kau selalu membuatku tersenyum dengan segala lakumu.
Di kursi paling belakang si Bapak dan Mas Har (suami Mbak Mur) asyik mengobrol berdua agar waktu tak terasa lama. Mungkin itu adalah cara terbaik menghabiskan waktu selain dengan sebatang rokok. Hahaaa, aku senang sekarang Bapak mengurangi konsumsi rokoknya. Juga membuatku tersenyum dengan guyonan garing renyahnya.
Jalanan semakin memadat dipenuhi barisan tronton yang berderet di samping kanan. Mengatakan bahwa kami semakin dekat dengan ibukota. Yah, yang pasti tak berselang lama kemacetan sudah menantikan kami di sana. Benar saja, pintu Tol Halim sudah sangat padat di jam 7 pagi. Hmmmm, untung saja pagi ini kami akan mengunjungi Halim. Jadi tak berlama-lama bermacet di Jakarta. Namun sepertinya hanya aku dan pak sopir yang terlalu khawatir dengan macetnya Jakarta. Sudah bosan sepertinya. Berbeda dengan mereka berempat yang di belakang yang sepertinya begitu menikmatinya. Hyaaaaah.
Jadi hari itu mereka sedang mengantarkanku pada di acara wisudaku. Wisuda yang begitu berkesan buatku. Kesan dalam artian yang sangat berbeda.
Hingga matahari pun condong di langit barat. Menggelincir dengan lebih terik. Aku melahap cepat bekal makanan buatan Ibuku subuh pagi tadi. Kemudian setelah sholat dhuhur kami melanjutkan agenda panjang hari itu. Bapak dan Ibuku hanya menurut saja kita akan kemana. Menurut keinginan Mbak Mur dan Mas Har yang sudah bela-belain ambil cuti untuk ikut ke wisudaku dan selanjutnya jalan-jalan ke Ancol. Aku, hanya menjadi tour guide karena sedikit banyak hafal jalanan ibukota. Jam satu kami bergegas. Meninggalkan Puri Adya Garini menuju Jakarta yang lebih utara. Berbelok memasuki jalan tol di atas padatnya jalanan umum. Membuat pandangan kami seluas kota Jakarta. Sudah seperti tour guide profesional saja aku menjelaskan gedung-gedung tinggi di kanan dan kiri itu.
Hanya setengah jam kami mencapai pintu masuk Ancol. Mbak Mur dan Ibu seru berebut bayar tiket masuk. "Aku saja...ini sajaa...udah pake ini duluuu.....". Kata mereka bersahut-sahut. Aku dan bapak-bapak yang lain hanya tertawa kecil menunggu siapa yang memenangkan debat membayarkan tiket masuk. Dasar ibu-ibu. Selalu saja seru deh. Hehehehe
Pergi ke Ancol di hari biasa memang bukanlah pilihan yang tepat sepertinya. Mau ke dufan. Ah sudah terlalu siang. Sepanjang pantainya pun lengang. Hanya beberapa kelompok orang yang bergerombol menikmati pantai yang hitam warnanya. Kami belima berjalan munyusur bibir pantai, kemudian memutari jalan dari balok-balok kayu yang bawahnya adalah air laut. Sedikit lebih lama menikmati angin yang tak kunjung datang, menyebabkan kami ingin segera bergegas meninggalkannya. Meninggalkan bapak-bapak tukang foto yang sepertinya adalah orang paling semangat di hari itu. Menyemangati para pengunjung yang kepanasan juga kebosanan, agar mau tersenyum di depan kamera tuanya.
Jam tiga sore, kami beranjak dari utara ke tengah Jakarta. Menyusuri Jalan Gajah Mada ke arah Pasar Senen. Berbelok ke kanan menuju Monas. Melunasi kata-kata ibu, kalo ga ke Monas ya berarti ga ke Jakarta. Ya sudahlah. Biar komplit sekalian, kita bermacet macet ria di jalan. Kalu dalam kamus mereka Jakarta adalah Monas, tapi bagiku Jakarta adalah kemacetan. Heheeee.
Jam setengah kami tiba di gerbang Monas yang terbuka. Kami memutari setengah halaman monumen itu yang sudah sangat sepi. Beberapa penjual makanan, penjaja pakaian, tukang foto dan kian makin sore, ibu-ibu penjual kopi mulai membuka lapaknya. Kami tak bisa memasuki isi museum di bawah tugu Monas karena sudah tutup. Jadi liburan sore itu hanya menikmati suasananya saja.
Langkah kami terhenti oleh seorang tukang foto yang memanggil kami keras. "Bu Haji....fotonya Bu Haji. Saya doakan kalo foto sama saya nanti bisa naik Haji lagi. Jadi gimana Bu Haji?". Pertanyaan yang dia lontarkan dengan logat madura secara bertubi-tubi. Aku, Ibu, Mbak Mur, Bapak dan Mas Har tertawa meledak menaggapi tawaran tukang foto yang masih muda itu. Boro boro dua kali, sekali saja masih mimpi mas broooo. Kami pun istirahat sejenak di tengah-tengah tamannya. Membiarkan si tukang foto dengan ocehan lucunya.
Di bangku tengah, duduk tenang dua sosok perempuan. Tepat di belakang kursiku Mbak Mur yang adalah sepupuku selalu menawarkan makanan yang dibawanya setiap kali aku menengok ke belakang. Sedang di samping kanannya si Ibu duduk terdiam tak banyak berekspresi menatapi kaca-kaca yang sedkit berembun oleh nafasnya. Memandangi sudut-sudut jalan yang panjang. Tangannya selalu menjaga satu setel jas pinjaman yang dibawakannya untukku, jauh-jauh dari Jawa Timur sana. Ah, Ibuuu. Kau selalu membuatku tersenyum dengan segala lakumu.
Di kursi paling belakang si Bapak dan Mas Har (suami Mbak Mur) asyik mengobrol berdua agar waktu tak terasa lama. Mungkin itu adalah cara terbaik menghabiskan waktu selain dengan sebatang rokok. Hahaaa, aku senang sekarang Bapak mengurangi konsumsi rokoknya. Juga membuatku tersenyum dengan guyonan garing renyahnya.
Jalanan semakin memadat dipenuhi barisan tronton yang berderet di samping kanan. Mengatakan bahwa kami semakin dekat dengan ibukota. Yah, yang pasti tak berselang lama kemacetan sudah menantikan kami di sana. Benar saja, pintu Tol Halim sudah sangat padat di jam 7 pagi. Hmmmm, untung saja pagi ini kami akan mengunjungi Halim. Jadi tak berlama-lama bermacet di Jakarta. Namun sepertinya hanya aku dan pak sopir yang terlalu khawatir dengan macetnya Jakarta. Sudah bosan sepertinya. Berbeda dengan mereka berempat yang di belakang yang sepertinya begitu menikmatinya. Hyaaaaah.
Jadi hari itu mereka sedang mengantarkanku pada di acara wisudaku. Wisuda yang begitu berkesan buatku. Kesan dalam artian yang sangat berbeda.
Hingga matahari pun condong di langit barat. Menggelincir dengan lebih terik. Aku melahap cepat bekal makanan buatan Ibuku subuh pagi tadi. Kemudian setelah sholat dhuhur kami melanjutkan agenda panjang hari itu. Bapak dan Ibuku hanya menurut saja kita akan kemana. Menurut keinginan Mbak Mur dan Mas Har yang sudah bela-belain ambil cuti untuk ikut ke wisudaku dan selanjutnya jalan-jalan ke Ancol. Aku, hanya menjadi tour guide karena sedikit banyak hafal jalanan ibukota. Jam satu kami bergegas. Meninggalkan Puri Adya Garini menuju Jakarta yang lebih utara. Berbelok memasuki jalan tol di atas padatnya jalanan umum. Membuat pandangan kami seluas kota Jakarta. Sudah seperti tour guide profesional saja aku menjelaskan gedung-gedung tinggi di kanan dan kiri itu.
Hanya setengah jam kami mencapai pintu masuk Ancol. Mbak Mur dan Ibu seru berebut bayar tiket masuk. "Aku saja...ini sajaa...udah pake ini duluuu.....". Kata mereka bersahut-sahut. Aku dan bapak-bapak yang lain hanya tertawa kecil menunggu siapa yang memenangkan debat membayarkan tiket masuk. Dasar ibu-ibu. Selalu saja seru deh. Hehehehe
Pergi ke Ancol di hari biasa memang bukanlah pilihan yang tepat sepertinya. Mau ke dufan. Ah sudah terlalu siang. Sepanjang pantainya pun lengang. Hanya beberapa kelompok orang yang bergerombol menikmati pantai yang hitam warnanya. Kami belima berjalan munyusur bibir pantai, kemudian memutari jalan dari balok-balok kayu yang bawahnya adalah air laut. Sedikit lebih lama menikmati angin yang tak kunjung datang, menyebabkan kami ingin segera bergegas meninggalkannya. Meninggalkan bapak-bapak tukang foto yang sepertinya adalah orang paling semangat di hari itu. Menyemangati para pengunjung yang kepanasan juga kebosanan, agar mau tersenyum di depan kamera tuanya.
Bersama Ibu Bapak di Pantai Ancol |
Jam tiga sore, kami beranjak dari utara ke tengah Jakarta. Menyusuri Jalan Gajah Mada ke arah Pasar Senen. Berbelok ke kanan menuju Monas. Melunasi kata-kata ibu, kalo ga ke Monas ya berarti ga ke Jakarta. Ya sudahlah. Biar komplit sekalian, kita bermacet macet ria di jalan. Kalu dalam kamus mereka Jakarta adalah Monas, tapi bagiku Jakarta adalah kemacetan. Heheeee.
Jam setengah kami tiba di gerbang Monas yang terbuka. Kami memutari setengah halaman monumen itu yang sudah sangat sepi. Beberapa penjual makanan, penjaja pakaian, tukang foto dan kian makin sore, ibu-ibu penjual kopi mulai membuka lapaknya. Kami tak bisa memasuki isi museum di bawah tugu Monas karena sudah tutup. Jadi liburan sore itu hanya menikmati suasananya saja.
Langkah kami terhenti oleh seorang tukang foto yang memanggil kami keras. "Bu Haji....fotonya Bu Haji. Saya doakan kalo foto sama saya nanti bisa naik Haji lagi. Jadi gimana Bu Haji?". Pertanyaan yang dia lontarkan dengan logat madura secara bertubi-tubi. Aku, Ibu, Mbak Mur, Bapak dan Mas Har tertawa meledak menaggapi tawaran tukang foto yang masih muda itu. Boro boro dua kali, sekali saja masih mimpi mas broooo. Kami pun istirahat sejenak di tengah-tengah tamannya. Membiarkan si tukang foto dengan ocehan lucunya.
Bersama Ibu Bapak di Monas |
-- Epilogue --
Seperti di rumah ketika bulan ramadhan, kami menunggu kumandang adzan magrib di depan televisi bersama-sama. Namun hari ini semua menjelma lebih nyata. Menantikan adzan magrib Masjid Istiqlal tepat di depan kubahnya.
Kubah Istiqlal....... |
Kami pun menyambut seruan merdunya. Menapaki undakan-undakan dan selasar-selasar di sepanjang teras menuju bangunan masjid utama. Tanpa berlama-lama kami ikut rapat dalam barisan. Sejenak waktu menghadap haribaan Sang Pencipta.
Aku yang keluar lebih awal menantikan Ibu yang sepertinya masih merapikan mukenanya. Duduk terdiam di ujung undakan paling atas, membiarkan Bapak menuju parkiran mobil lebih dahulu.
Ibu pun datang membuyarkan lamunanku. Mengajakku berjalan bersama menapaki turun tangga-tangga lebar itu. Kutanyakan padanya.
"Bu, dulu pernah mimpi untuk sholat berjama'ah di Istiqlal ga?"
Dia tak menjawab, hanya tersenyum dengan matanya yang sedikit bekaca-kaca.
"Punya mimpi untuk sholat di Mekkah dan Madinah ga Bu?"
Aku pun meneruskan tanya.
Dia semakin terdiam. Senyumnya juga makin temaram. Seiring matanya yang kian berbasah. Meraih lenganku. Dan memelukku.
"Mari melunasi mimpi-mimpi kita, Bu"
Lanjutku dalam hati. Biar degub jantung ini yang menyampaikan padanya.
cerita yang mengharukan :') Di jalan saat menggapai impian, pasti ada harapan di setiap langkahnya
ReplyDelete:-) Ada batu sandungan juga
Delete