Hujan dengan ramainya mengguyur
kota semalam suntuk. Menerjang deras di genteng-genteng rumah warga.
Menyapu sekujur tubuh dari tungkai hingga tengkuk meringkuk menahan
dingin kelembaman. Jaket dan selimut pun dibalut bertumpuk-tumpuk
melawan hembusan berat udara yang bercampur titik-titik minor air yang
berbintik-bintik di ujung bulu-bulu lengan dan kaki. Membuat pemiliknya
bergetar berdesak-desakan dengan sosok di kanan kirinya. Pilihan
terbaiknya adalah duduk manis melingkar rapat menikmati sepiring
gorengan yang baru saja diangkat dari minyak panas. Menghangatkan malam
hingga kantuk menutup kedua kelopak mata dan keluarga kecil ini pun
terlelap.
Hingga
terlihat jelas garis benang putih dari benang hitam, fajar yang
melontarkan cahaya kuning tipis mengkilat dan menghamburkannya di ufuk
timur. Sepertinya langit telah mencurahkan semua isi air di mendung
hitam dan menggantinya dengan guratan cirrus-cirrus tipis. Putih panjang
membelah kubah langit yang separuh terang dan sisanya masih gelap
menghabiskan malam. Membangunkan para ayam jantan agar menyerukan
nyanyian pagi pada daun-daun telinga yang masih membeku di balik selimut
tebal
Aku
berjalan pelan menuju pekarangan kecil di depan rumah. Menyibak embun
yang membasuh hijau rumput dedaunan. Duduk tepekur di kursi dari batu
menikmati secangkir kopi yang asapnya menggumpal gumpal menguapkan
tekanan panas pada wajahku yang masih kusut. Setelah beberapa jam
sebelumnya mengantarkan dua wanita tercantik itu ke pasar di tengah
kota. Memenuhi tiga per empat dari isi mobil kecil yang kini parkir
tepat di depanku dengan berbagai kebutuhan dapur besar untuk hari ini.
Mulai dari aneka sayur mayur hingga berjenis-jenis bumbu dan
rempah-rempah. Juga beberapa drum ikan segar sebagai bahan wajib di
daftar panjang belanja kedua ibu itu.
Haaaaah.
Sekarang tugasku berlanjut dengan mencuci bersih mobil ini setelah
sebelumnya menerjang kolam-kolam kecil di sepanjang jalanan. Menyisakan
setengah cangkir kopi yang mulai mendingin aku menarik selang panjang
dan menyemburkan air di sekujur badan mobil. Mendadak sepasang lengan
kecil mengalung di leherku. Si kecil manis yang melompat cepat di
punggungku ingin meraih selang di tangan kananku. Aku sedikit terhuyung
jatuh namun bisa kutahan dengan tangan kiri. Tapi kemudian kembarannya
yang masih menenteng gayung datang menyambar selang yang lepas dari
genggamanku mengubah arah semburannya tepat di wajahku. Tak bisa
kuelakkan. Hingga akhirnya sesosok dengan jilbab merahnya datang
menghampiri kami bertiga, menggendong cekatan kedua jagoan kecil itu dan
berkata..."Adeeeek. mandinya di dalam aja, kasihan tuh ayah". Hahahaha.
Ada-ada saja.
Hari
pun menjelang siang. Kini aku berada di rumah makan kecil tak jauh dari
rumah sebelumnya. Yang dihubungkan oleh jalan setapak dengan batu yang
tertata rapi sepanjang kurang lebih 50 meter mendekati jalan utama.
Seperti biasa burung-burung dara yang asyik bercengkerama selalu menyapa
kami yang sedang membersihkan rumah makan ini. Sesekali mereka turun
meminta bulir-bulir jagung kepada empunya rumah.
Rumah
makan ini dibagi menjadi 2 tempat utama. Di ruang sebelah kanan tertata
dengan sederhana beberapa meja bundar dengan 4 kursi mengelilinginya.
Seperabot ornamen dan bunga diset ramping di tengah-tengahnya. Dengan
kaca jendela yang besar memberikan penyinaran terang di seluruh ruangan
yang didominasi dengan warna hijau-kuning di dinding dindingnya.
Sekaligus bisa memberikan pandangan jelas ke arah jalan utama yang
setiap hari dilalu-lalangi kendaraan dari mobil hingga delman. Beberapa
lukisan sederhana pun dipajang di sekelilingnya. Melangkah sedikit ke
arah barat, melewati pilar-pilar bambu bercat coklat berjarak renggang,
kita sudah pindah di ruang lesehan di sisi kiri.
Di
ruangan sebelah kiri ini pengunjungnya bisa duduk santai di selasarnya
yang panjang. Atau bisa menikmati hidangan makan di pondok-pondok kecil
di pekarangannya sembari lesehan. Sekaligus memandang kolam ikan yang
setiap harinya bisa dipancing ikannya kemudian diolah sesuai permintaan.
Selain menyajikan masakan olahan ikan berbagai macam, rumah makan ini
juga menyediakan prasarana pancing bagi yang suka berlama-lama
menghibiskan waktunya. Kuncup-kuncup bunga teratai merah itu pun selalu
bergoyang pelan karena ombak kolam yang riak senada dengan teriakan
pemegang gagang pancing yang menarik calon santapannya.
Diantara
kedua ruangan itu, dengan sedikit menjorok ke dalam, disediakan sebuah
perpustakaan umum kecil yang buku-bukunya bisa dibaca oleh pengunjung
rumah makan. Nampak dari luar, di balik dindingnya yang terbuat dari
kaca sesosok perempuan yang tadi berjilbab merah sedang merapihkan
beberapa rak buku. Juga membersihkan lantainya. Aku yang sedari tadi
bermain dengan sapu di parkiran depan yang cukup luas dikagetkan oleh
bel nyaring sepeda ontel bapak masuk ke parikran dengan cepat kemudian
rem mendadak membuat sepeda tua itu mengepot serong sedikit menggaruk
tanah yang diterjangya. Dengan mukanya yang riang menyambutku.
"Selamat pagi Mas Fredy. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam Bapak. Ada berita apa hari ini?"
Seorang
paruh baya yang setiap pagi mengantar koran dan beberapa majalah ke
rumah makan ini. Seperti biasa dia langsung menata tumpukan koran itu
rapi tepat di depan perpustakaan kaca dilengkapi dengan tag harga untuk
setiap jenisnya. Tak lupa di atasnya disiapkan kaleng kecil tempat para
pembeli koran menaruh uangnya.
"Ngopi dulu pak."
"Udah, ga usah repot-repot mas."
Tak
berlama-lama dia melanjutkan usahanya hari ini dengan setengah tumpuk
lagi di keranjang sepedanya untuk dijual di lapaknya di tengah kota.
Biasanya saat sore nanti dia akan kembali datang untuk merapikan
koran-korannya yang tidak terjual dan kami berdua bercengkerama beberapa
waktu hingga maghrib menjelang.
Dua
jarum jam tepat di atas meja kasir dan pemesanan yang menjadi satu
menunjukkan hampir pukul 8 pagi. Muncul beriringan pemuda pemudi
bersetelan batik bernuansa hijau memasuki parkiran dengan motornya,
beberapa berjalan kaki. Menerbangkan kawanan burung dara yang sedari
tadi masih menari di hijaunya pekarangan.
Tanpa
menunggu instruksi mereka menuju area kerja mereka masing-masing. Yah,
mereka adalah para karyawan rumah makan ini. Yang di ''front area''
membersihkan dan menata seluruh ruang bermeja kursi hingga ruang
lesehan. Beberapa ikut membantuku menata pekarangan dan menyirami
bunga-bunga juga bonsai-bonsai di sekililingnya. Sedang yang di "back
area" mulai menyalakan tungku-tungku, memanaskan minyak, merajang,
memotong, mencuci dengan cekatan sesuai intruksi ibuku yang sebelumnya
sudah berdiri khusuk menatapi bon-bon panjang di papan informasi di
dinding dapur berukuran lumayan besar itu. Sedangkan bapak, seperti
biasa mengukur lebar tinggi pohon pinus juga bambu apus agar selalu
presisi dengan halaman parkir yang sedikir berjajar genjang itu.
Kemudian mengarahkan beberapa karyawan membersihkan area kolam panciang
ikan.
Tepat
jam 8 pagi, kami semua berkumpul sejenak, memulai ihtiar pagi itu
dengan setunduk doa. Sepatah dua patah cerita, yang dilanjutkan dengan
gelak tawa. Selebihnya kami kembali ke tempa kami masing masing dengan
senyum lebar karena pagi ini hingga maghrib nanti kami harus menularkan
wabah bahagia kepada para pengunjung yang datang.
Selalu
dengan kata kunci wajiib setelah mereka menyajikan beberapa piring
pesanan tamu dengan rapih. Dengan senyum lebar membuka penutup hidangan
sembari mengucapkan....." Selamaat Makaaan !"
..............................................................................................................
Terima
kasih untuk teman-teman yang sudah ikut mendoakan potongan-potongan
mimpi saya. Juga memilihkan salah watu warnanya untuk kugoreskan di
kanvas-kanvas harapan.
0 comments