Saat
itu pukul 11.00 malam. Setelah memutari bundaran senayan dari tenangnya
perumahan di Kebayoran Baru, Jaksel aku berbelok ke kanan menyusur
Jalan Jedral Sudirman mengndarai motor berplat AE hitam. rasanya aku
sedang menempuh lorong waktu yang besar memanjang dengan tiang-tiang
bangunan yang gemerlap mencakar langit malam di sepanjang pandangan
depan, kanan dan kiriku. Aku sebebas-bebasnya memuntur handel gas di
lengan kananku mendorong lebih pekat asap knalpot sehingga akselerasi
motor tua ini meningkat melewati Plaza FX Sudirman hingga depan Gelora
Bung Karno dengan sekejap.
Belum
puas, aku sedikit menirukan gaya ala pembalap Moto GP saat berpindah
haluan di perempatan Semanggi. Menghindari pembatas jalan, masuk jalur
cepat, melewati fly over dan kini sisa Jalan Sudirman yang teramat lebar
itu benar benar menunjukkan betapa asiknya bersepada motor ria di
ibukota. Apalagi lampu pemberhentian yang selalu memberikan warna hijau.
Tak ada pengjalang. Pancuran Bundaran HI juga begitu enak dinikmati
sesaat saat aku melintasinya cepat di sela beberapa mobil yang berjalan
melambat. Hingga sampailah aku di Jalan Thamrin yang dipenuhi kantor
para menteri juga pejabat negeri.
Patung
pacuan kuda di pojok Monas pun terlihat mengkilat putih dan aku
menurunkan energi motor tua ini. Melambat pelan memutari bundaran kecil
di depannya. Berbelok ki kanan lagi dan akhirnya si lampu merah
memberhentikanku, walau sebenarnya bisa saja aku tetap jalan seperti
beberapa pengendara yang lain. Kutengok sepasang jarum di lingkar hitam
lengan kiriku. 11.20. Ebuseeeeeet. 20 menit Dari ujung Sudirman hingga
akhir Thamrin. Padahal jika siang hari aku harus berjuang melampauinya 2
jam dan berlipat 2 kali jika sore menjelang. dan ternyata jika malam,
sepinya ga ketulungan.
Oke,
kini aku menuju arah Pasar Senen di Jalan Merdeka Selatan. Pucuk emas
Tugu Monas terlihat samar di sisi kiriku. Setelah melewati kantor Pak
Jokowi di sisi kananku, aku berbelok ke kiri, kemudian memutar balik
mengikuti jalur sehingga nampak di depanku rampu penunjuk jalan, arah
Pulo Gadung. Aku berbelok serong ke kiri dan lampu merah berikutnya pun
menyambutku kembali. Aku berhenti ikut menghitung detik waktu di atas
kepalaku menunggu waktu.
Setelah
kembali menghijau aku berjalan perlahan. Sebelum mencapai perempatan
berikutnya nampak di depan sana dua orang pemuda sedang ringkeh
mendorong motor mio hitam. Satu mengahndel setir di depan dan satunya
lagi membungkuk mendorongnya. Aku tertarik iseng untuk menyapa mereka
berdua dan menawarkan beberapa pertanyaan.
"Kenapa mas motornya?"
"Wah, bensin saya habis mas"
"Walaaah, emang kalo pom bensin di deket-deket sini dimananya?"
"Ada kok di depan, agak jauh sih"
"Ada kok di depan, agak jauh sih"
"Oh, ada ya. Saya bantuin dorong deh"
"Beneran mas??"
"Ayo naik saja kalin."
Dan begitulah kami berkenalan.
Setelah
mempaskan sendal jepitku di footstep motor mereka dan ritme kecepatan
kami berdua mulau senada kami melewati perempatan berikutnya itu dengan
lebih perlahan. Aku yang tidak tahu menahu pom bensin terdekat di daerah
monas itu berencana mendorong mereka berdua ke arah Pulo Gadung sesuai
tujuanku hingga ketemu logo merah-biru-hijau pertamina. Namun di tengah
perjalanan di ujung perempatan mereka membelokkan motornya ke kanan
sehingga aku hampir menabrak mereka, dan kami pun berhenti mendadak.
"Loh, kenapa mas?"
"Pom bensinnya ada di sebelah sana mas"
"Disana dimana?"
"Cikini"
"Arah menteng ya?"
"Iya agak ke dalem"
Aku
terhenyak beberapa saat. Hingga kemudian mas yang tadi duduk di
belakang motor mio itu menawarkan diri untuk menguruang beban kaki
kiriku.
"Wah, terima kasih lho mas. Ada kok di sana. Biar cepet saya duduk di belakang mas aja ya?"
"Aku mengiyakan saja"
Dan
kini aku mendorong satu orang di motor mio nya san satu lagi duduk
tepat dibelakangku. Perempatan besar Tugu Tani itu pun terlewati kami
bertiga sejurus dengan pikiranku yang kemudian melasat jauh entah
kemana. Muncul argumen, insting dan pikiran "asing" dan "aneh" untuk dua
pemuda ini Sejalan dengan degup jantung yang tiba-tiba beresonansi
lebih beriak, mendetak cepat membuatku tegang dan otakku sedikit
memanas.
Jalan
yang kini kami lewati menjadi lebih gelap. Ke arah Menteng, sebuah
perumahan elit mewah yang masih terbilang hijau. Banyak pohon tinggi dan
rumah megah yang kebanyakan terlihat kosong sepi. Jalannya jika magrib
dipenuhi pedagang kaki lima menjajakan makanan. Tapi jika malam jam
setengah dua belas seperti ini berubah drastis menjadi dingin mencekam.
Satu lagi tentang jalan di daerah menteng adalah sangat banyak dan
berkelok-kelok. Jujur saja aku belum hafal daerah ini. Hampir 5 kali
mencari arah Taman Untung Suropati aku tersesat dan menyusur jalan
berbeda. Itu masih siang hari. Dan kini, malam sepi dengan dua kenalan
bari yang "asing" dan "aneh" di kiri dan belakangku.
Keduanya
tak jauh beda. Mungkin umurnya juga sama denganku. Dengan berkaus dan
bercelana pendek menunjukkan bahwa mereka "orang sini". Apalagi dengan
tidak membawanya helm saat mereka main dan nongkrong di daerah monas.
Seperti penuturan mereka.
"Emang dari mana mas?" Tanyaku melelehkan pikiran.
"Tadi habis nongkrong sama temen-temen, eh bensin kehabisan"
"Kok ga di sms aja?"
"HP dua duanya mati mas"
Cukup
mempelantingkan lebih jauh pikiranku. Nongkrong sama teman-teman
katanya. Teman-teman dalam bahasa mereka kuterjemahkan dengan konsepsi
lain. Sebuah konspirasi atau sindikat. Niat baik di awal terbalik
menjadi kecurigaan yang menjadi-jadi.
Jangan-jangan
di depan sana secara sekejap beberapa orang mencegat kami dan umpan
mereka berhasil menjadikan aku mangsa empuk untuk jadi korban pemerasan
yang kesekian kalinya di Jakarta. Atau mungkin saja secara tiba-tiba
sebuah bilah tajam didaratkan pelan di tipisnya kulit leharku yang
sedari tadi berkeringat dingin. Oleh tangan pemuda yang duduk menjepi
badanku dengan kedua kakinya yang lebih besar dariku. Kemudian yang di
kiriku secara cepat menghentikan motor mionya dan melontarkan kata-kata
kasar dengan muka garang di depan mataku menginginkan isi tas juga saku
ku. Atau yang paling sederhana pemuda yang di belakang sedang
menyelidiki isi tas kosong di pelukan punggungku juga isi saku di
celanak sedang yang di kiriku membaca situasi mencari momentum tersepi
melakukan aksi.
Ah....semua
semakin mecekam. Mereka banyak sekali bertanya dan bicara, namun aku
semakin kaku untuk berkata-kata. Aku kembali mengingat ingat gerakan
pencak silat yang diajarkan pelatih saat di kampung dulu. Bagaimana
mengunci, bagaimana melaskan kuncian tangan, bagaimana menagkis serangan
dan memberikan balasan tendangan lalu kabur secepat-cepatnya. Opsi
kedua adalah aku meninggalkan pemuda yang menyetir moi dengan menarik
gas penjang kemudian mendorong yang dibelaknagku hingga jatuh tersungkur
di aspal. Dan semuanya membuyar saat kami berpapasan dengan beberapa
pekerja proyek yang sedang memperbaiki jalan. Aku sedikit tenang. Agak
ramai. Kutanyakan kembali pada mereka
"Pom bensinnya mana sih mas?"
"Itu mas, udah deket kok"
Dalam hati "dari tadi udah deket mulu, mana?".
Aku
mencoba menenangkan pikiran. Entah sudah berapa kali kutarik nafas
panjang mengatur tempo jantung yang sedari tadi berguncang kencang.
Menjaga denyut nadi agar tak lagi nanar mengalirkan terlalu banyak darah
ke otak. Hingga akhirnya saat ini kuharapkan hanya satu. Aku ingin
segera bertemu pom bensin dan pulang di kasur kosan kecilku yang dingin
keras.
Setelah hampir setengah jam bertemu di Tugu Tani akhirnya terlihat juga silau merah-biru-hijau
pertamina itu. Aku meningkatkan kecepatan ingin segera mengakhiri drama
di hati yang mendekati klimaks. Hingga akhirnya sampailah kami tepat di
depannya, di lampu putihnya yang terang. Mungkin paling terang di
perumahan Menteng yang tadinya mencekam.
Dengan
tangan yang masih dingin kaku aku menjabat mereka cepat. Kemudian
merogoh isi saku, dompet dan HPku, setelah dirasa masih utuh aku pun
menjalankan motor cepat ke depan. Walau aku tak tau ujung jalan ini
kemana. Mereka menyapaku kembali dan aku hanya mengacungkan jempol
kiriku ke atas sampir melempar senyum kusut.
Haaah.
Sepertinya pahala niat baik ini bakal terhapus oleh kecurigaanku yang
terlalu berpangkat dan bereksponensial. Teramat menjadi-jadi.
Tapi jika kalian berani mencoba silahkan saja. Jam setengah dua belas malam melawati suatu masa yang "asing" dan "aneh" di tempat yang "asing" dan "aneh" pula.
0 comments