Penat menyusur urat tulang belakang di ujung gerbong Kereta Pasundan di
penghujung bulan ramadhan saat itu. Saat aku berpulang ke kampung
halaman meninggalkan kota Kembang. Tempat transit kepulangan dari rumah
kos sekamar kecil di Jakarta. Cukup senyum aneh adek kecil di pelukan
ibunya jadi penyemarak malam hingga pagi, matahari terindah merekah di
langit kota kecil tempatku bersekolah dulu. Yang dulu ketika pagi
kujelang dengan sepundak tas hitam mengendarai motor berboncengan,
setelah beberapa masa sebelumnya berdesak-desakan ria di bus omprengan
"Sri Mulyo Agung" menyusur jalan.
Tak ingin kehilangan momen-momen itu aku pun menapaki tilas perjalanan
semasa STM di Kota Madiun ini dengan ngeteng sampai rumah. Menolak
tawaran jemputan sepeda motor Bapak yang begitu antusias menyambutku
pulang. Hari itu aku memilih becak tua yang dikayuh Bapak Tua dari
daerah Nglames. Mengantarku dari stasiun menuju Terminal Purbaya di
seberang PG Redjo Agung. Pelan dan perlahan.
Selanjutnya yang kutunggu sudah menungguku lama di bawah tenda tinggi
menutupi mobil kotak bercat merah yang sudah bolong sana sini, juga
memudah menjadi coklat. Sri Mulyo Agung, mengantarkan ku kembali
memutari kota dari jalan Thamrin lurus mencapai perempatan Te'an.
Kemudian berbelok ke kanan hingga terlihat Pasar Sleko yang masih saja
ramai. Berikutnya kuburan china yang masih saja bau dan jalanan yang
tetap berkelok-kelok. Pak Supir dengan sebatang rokoknya di mulutnya
lihai memutar roda kemudi sembari kedua kakinya bergantian memainkan
pedal. Sedangkan si kondektur yang tak asing itu berdiri di pintu
sembari melambaikan tangannya keluar. Mengepak-kepakkna beberapa
lembaran uang kertas hasil tarikan penumpang pagi itu.
Sebenarnya aku ingin melihat bunga trembesi di sepanjang lapangan terbang Iswahyudi yang mekar merah dan sebagian yang lain gugur memenuhi jalanan terapu ban bus-bus besar. Yeaaah. Belum musimnya mungkin. Pohon-pohon trembesi itu hanya tinggal dahan dan rantingnya yang menua degan sedikit daun-daun hujau. Hari pun semakin panas membuatya semakin terbakar. Dan aku terlelap tidur di kursi paling depan memimpikan 4-6 tahun yang lalu aku menempuh jalan yang sama.
Dengan tempo yang sama pula pasti aku terbangun di jalanan rusak dari
perempatan Sukomoro. Jalan terjal mengarah ke utara itu pasti
membangunkan tidur pulasku setelah hampir 1 jam berada di dalam bus
meninggalkan Madiun menaruhku kembali ke Magetan. Dengan pandangan
sedikit sayu, kulemparkan sejauh pandangan ke sisi kanan menatap sawah
yang masih menunas hijau. Dan pohon jati yang masih enggan merimbun
lebat.
Hingga belokan terakhir benar benar menyadarkan kembali aku dari
setengah tidur, kemudian sempoyongan berdiri menatap ujung belokan
hingga kembali menginjakkan kaki di tanah rumah.
Aku merenggangkan tangan ke atas tinggi tinggi. Menyapa segenap cerita
nostalgia dulu dan sehembusan angin yang menyapa ku ramah. Kupejamkan
mata sekali lagi.
Dan aku pulang............
0 comments