Hampir kebanyakan laki-laki memberikan jawaban seputar olahraga saat
ditanya, "Apa hobi kamu?". Dengan jawaban cepat, "Sepak bola, futsal,
basket, bulu tangkis, dan semacamnya". Atau jawaban yang lebih keren
sedikit, "Main musik, drum, bass, gitar, siter, kentrung".
Kemudian jika pertanyaan yang sama dilayangkan padaku, aku membutuhkan
setidaknya waktu 5 menit untuk memberikan jawaban. "Ehmmm, ehh, apa
ya??". Hingga kini akhirnya aku mendapatkan masa dan momentum untuk
menguatkan sekaligus mengklarifikasi bahwa ini aku. Bukan sekedar hobi.
Tapi menjadi jalan hidup, gaya hidup dan menghidupkan hidup.
Masih ingat kata-kata yang diungkapkan Mas Eko Nugroho, seorang seniman pelukis Mural di Jogja kemarin. "Menjadi
idealis itu perlu. Seni dan bisnis harus saling terkait dan tak dapat
dipisahkan keduanya. Katakan kamu seorang pelukis. Terus kamu beli cat
dan kanvas dari mana? Pilihannya kamu menjadi pelukis atau menjadi
tukang rumput untuk membeli keduanya".
Melukis seperti yang dimisalkan Mas Eko mengarah pada sesuatu yang kita
suka. Sebuah tema pilihan untuk dijadikan aktivitas terbaik dalam
rutinitas kehidupan. Akan menjadi lengkap jika pilihan itu benar-benar
menjadi jalan hidup yang kita pilih sehingga kita mampu berkontribusi
secara maksimal serta "ikhlas" terhadap hidup kita.
Memang sekarang sosok seperti saya belum bisa mengkolaborasikan hal yang
sudah "klik", yang dalam bahasa orang lain adalah hobi, dengan
rutinitas keseharian. Bahkan jalan yang saya pilih bertentangan
berlawanan menjauh. Sebuah pilihan menjadi kuli 14 jam yang menyita satu
hari yang dianugrahkan Tuhan untuk disyukuri dengan ikhlas.
Aku tidak tahu sudah berapa draft di dashboard blog yang belum mampu
kurampungkan. Yah, menulis. Entah mulai kapan aku menikmati seni ini.
Otak dan jemari sangat susah dan tak mudah ditakklukkan dengan kata. Aku
juga tidak tahu barapa halaman yang kulewatkan bahkan kutinggalkan di
tumupukan buku di sudut pintu kosanku. Yah, akhir-akhir ini aku sudah
tak lagi memanjakan mataku dengan barisan bahasa Salim A Fillah, Ippho
Santosa juga penulis buku yang lain.
Aku juga sudah lupa bagaimana rasa dingin kabut dengan sesekali hujan di
tanah-tanah tinggi itu. Sejujurnya aku rindu nyanyian mereka. Gunung
dengan hutannya yang anggun. Embun dengan sejuknya yang mengalun.
Lengkap dengan semerbak wangi edelweis dan cantigi yang merekah. Aku
benar-benar lupa bagaimana matahari pagi nan hangat begitu damai
menyambut hari itu.
Yang aku masih ingat selama 3 tahun di ibukota ini aku sudah 7 kali
pindah tempat tinggal. Sebenarnya bukan tempat tinggal seutuhnya karena
lebih banyak kufungsikan sebagai tempat penampung baju dan beberapa
perlengkapan ala anak rantauan. Sisanya?? Aku bisa tidur dimana saja,
rumah si A, si B, si C. Tidur di bengkel, di mushola, di masjid. Tidur
di rumput di mana saja. Semuanya sama. Sama-sama dari Tuhan.
Aku bersyukur bisa bertemu dengan banyak orang selama 7 kali boyongan rumah itu. Banyak kelas kehidupan yang menyapa ku. Salah satu yang begitu teringat adalah ketika selesai maghrib di bulan ramadhan kemarin sesosok bersuara mungil mengetok pintu kosanku.
Aku yang sedang mengerjakan makalah Tugas Akhir tersentak kaget. Dengan perlahan pintu dibukanya dan sepongah senyum terbingkai di antara kusen pintu. "Mas Ferdiiii", dia memanggilku riang. Seorang perempuan kecil kelas 2 SD di daerah Tangerang Selatan. Bahasanya masih kaku diikuti tingkahnya yang juga masih lugu. Aku mengenal dan dekat dengannya karena kakak iparnya berjualan kali lima di depan tempatku magang dulu, tempat aku duduk tepekur melihat matahari terpejam. Dan ketika magrib itu, "Dhek Tri" yang kecil mnegakhiri main-main ke kosaku dengan satu ungkapan yang membuatku tercengang di malam ramadhan hingga sekarang, "Mas Ferdii mau jadi kakaknya Dhek Tri ga??"
Aih, sudah lama aku tak menanyakan sekolahmu seperti sore tempo dulu. Sudah lama aku tak menyuruhmu menuliskan nama mu, nama ibu dan bapakmu di catatan harianku.
Tepat ketika Mas Eko Nugroho mngeluarkan statement-nya di Kopdar #BN2013 kemarin, aku malu pada diriku karena pilihanku adalah menjadi pelukis yang membeli kanvas dan cat dengan menjadi sorang tukang rumput dalam bahasa Mas Eko. Aku menjadi orang lain. Hobi bukan sekedar apa yang kita suka. Tapi apa yang kita usahakan untuknya. Mas Eko menyadarkanku.
0 comments