......
Aku
berjalan tegap di sepanjang karpet panjang membelah barisan
teman-temanku yang sudah duduk rapi dengan topi bersegi limanya.
Langkahku kupastikan tetap di jalur hitam di tengah-tengah karpet
tersebut seperti yang diajarkan teman di sebelah kiri bangkuku sesaat
setelah aku duduk di dalam aula besar itu. Setelan jubah hitam berkerah
putih ini membuat langkahku terasa kaku. Di kanan dan kiriku tergandeng
dengan erat dua sosok paling bijak seumur hidupku, Bapak dan Ibu. Dengan
langkahnya yang canggung dan matanya yang berkaca kaca, kami bertiga
menuju podium depan. Setelah melewati barisan terdepan kami menyerong 45
derajat ke kanan meghindari tatanan taman bunga portabel nan semarak
indah yang menghiasi teras panggung. Sejurus kemudian, 4 anak tangga
kecil menyambut kami untuk berdiri di depan semua wisudawan dan tamu
undangan. Kini di kanan dan kiriku bertambah lebih banyak orang yang
kesemuanya merupakan jajaran orang penting berjalannya kampus tepatku
berkuliah. Kelip putih dari kamera orang berbaju hitam-hitam itu sedikit
menyilaukan mataku ketika MC mengatakan beberapa patah kata. "Selamat.
Wisudawan Terb.............."
Suasana
berubah saat MC belum menyelesaikan kata-katanya. Suara dari sudut
kanan panggung itu menghilang perlahan. Kutengokkan pandanganku ke kanan
untuk mengeceknya. namun yang kudapat adalah orang-orang penting di
barisan kananku menghilang satu persatu dengan senyum datarnya. Seperti
pemain sulap yang menghilangkan burung merpati dengan cepat. Aku
terperangah...bingung. Kuputar kembali pandanganku dengan cepat ke arah
kiri badanku. Kini sang direktur yang berdiri di sebelah kiri Ibuku pun
lenyap, diikuti pria setelan hitam-hitam yang sedari tadi memencet
tombol kamera mengabadikan suasana bersejarah itu. Lebih jauh lagi, grup
paduan suara berjas kuning terang pun menunduk pelan kemudian tubuhnya
mengasap dan menghilang dari pandanganku. Aku semakin terperangah.
Mulutku menganga tanpa sedikit pun bersua. Tas tersadar pendanganku
kembali lurus ke depan dan barisan wisudawan serta tamu undangan pun
menjadi bak fatamorgana di gurun tandus, tubuhnya meliuk-liuk ke atas,
makin ke atas meraka pun lenyap seketika. Aula besar ini kini menjadi
asing bagiku. Semuanya terabstraksi menjadi kelabu. Berputar-putar mirip
gugusan galaksi. Seperti halnya anak TK yang menggoreskan cat warnanya
tanpa pola. Bebas dan menjadi satuan warna tak jelas.
Lama-kelamaan
genggaman tanganku mendingin setelah sebelumnya menghangat oleh
keringat semangat. Kudapati sosok Bapak dan Ibuku tersenyum kecil dan
sepersekian detik setelah itu, pergi menghilang bersama podium tempatku
berdiri yang terbawa pusaran abstraksi itu. Aku sendiri dan berteriak.
"Tidaaaaaaaa......"
...
Sabtu, 2 November 2013. Pukul 05.00 WIB
Belum
selesai dengan fragmen menganehkan itu, juga belum selesai dengan
teriakan kasarku itu, aku pun terjaga. Sejurus kemudian kupadati aku
sedang duduk dengan kedua kakiku lurus terlentang. Badanku berkeringat
basah. Aku pun mengeja keadaan. Tepat di depanku sebuah motor supra tua
kiriman dari Bapakku ketika aku magang. Di bawahku hanyalah kain jarik
milik Ibuku yang menjadi alas duduk, sudah kusut dan lecek. Mungkin
karena tindihanku. Di kanan ada tumpukan baju, sepatu dan beberapa tas,
sepertinya itu milikku. Di atasnya ada sepasang baju kerja menggantung
di pilar tirai dengan ID card di tengahnya. Di kananku, kudapati sesosok
pria seumuran denganku. Sepertinya aku kenal. Aku mengucek-ucek kedua
mata. Yah, dia adalah Pras. Teman kuliah berbeda prodi yang berasal dari
Pati, Jawa Tengah. Aku pun mulai tersadar. Aku terbangun dari mimipi.
Sebuah mimpi buruk menghantui.
Itu
adalah pagi kedua ku di tanah Karawang. Karena belum mendapatkan
kos-kosan baru, aku sementara hidup nomaden dan menumpang di tempat
Pras. Hari Jum'at sebelumnya aku pertama kali masuk kerja. Setelah
seharian penuh di kawasan pabrik sore harinya Karawang diguyur gerimis
hujan. Semakin malam suasana makin dingin walaupun kosan Pras belum ada
kipas angin. Aku tertidur lebih cepat. Setelah membaca beberapa bab buku
ESQ temanku. Dan mimpi itu datang.
Beberapa
saat kemudian HP ku berdering, seketika kuraih. Kalau saja ada kabar
penting. Ternyata hanya alarm pagi. Hahh, mungkin gara-gara alarm itu
juga yang merusak suasana mimpiku yang awalnya terasa indah. Seperti
yang 'kuimpikan' dahulu. Atau memang kenyataan yang membuat 'impian
besar orang kecil ini' hanya menjadi mimpi selama-lamanya tanpa pernah
terealisasikan.
Ah...aku tak mampu berfikir lebih jauh. Kurebahkan kembali tubuhku dalam pelukan jarik dari Ibu. Dan aku pun terlelap.
...
Tiga tahun silam.....Desember 2010
Impian
besar itu kupupuk sejak aku melihat record semester 1 yang mengejutkan.
Ada rasa tidak percaya. Namun ini adalah hasil yang kudapatkan. Ada
semacam gejolak. Yang membuatku ingin mengulang apa yang kuraih saat SMK
dulu. Sepertinya ini undangan. Agar aku menetapkan mimpi untuk tetap
pada trek yang mengejutkan ini. IPK tinggi.
Aku
mendapatkan satu aksioma yang diajarkan Direktur Polman Astra saat
program leadership sebelum ospek kampus. Mulailah dengan hasil akhir.
Dan Awal tahun 2011 kumulai semester dua dengan hasil akhir yang tidak
muluk-muluk. Wisudawan terbaik. Itulah 'impian'. Yang mengilhami setiap
langkah pembelajaran. Apa yang harus kulakukan? Seperti kabar yang aku
dapatkan dari teman-temanku. IPK tertinggi setiap prodi akan menjadi
wisudawan terbaik dan nanti akan maju ke podium bersama kedua orang
tua.
...
Setelah 3 tahun perkuliahan
Tiga
tahun sudah, kami pun menyelesaikan perkuliahan dengan hasil yang cukup
memuaskan. Kecuali jurusanku. Bagi jurusan lain, keobjektifan sistem
perkuliahan membuat mahasiswanya dapat mengetahui hasil perkuliahan
lebih awal. Dosen dan instrukturnya selalu blak-blakan masalah
penilaian. Sisi baiknya, jika ada kekurangan mahasiswa pun sadar lebih
awal dan dapat mengajukan remidial. Beda halnya dengan jurusanku.
Sepertinya aku tidak mendapatkan keobjektifan dengan dini. Selalu di
akhir dan paling akhir. Mahasiswa lebih sering mendapatkan angka jadi.
Alhasil revisi nilai bahkan KHS sudah dianggap wajar. Walau bagiku itu
mengherankan. Terkadang aku iri dengan teman di jurusan lain.
Tapi
aku patut bersyukur dengan hasil yang kudapat. Meski agenda UKM dan
HIMMA padat di jam overtime jelang malam dan akhir pekan, aku
mendapatkan komulatif yang selalu pada trek yang 'kuimpikan' walau
grafik setiap semesternya naik turun hingga di paruh ke lima.
Paruh
kelima ini persaingan untuk podium akhir semakin memanas. Penuh kejutan
dan tanda tanya. Jurusan lain sudah memastikan calon masing-masing
sedangkan jurusan ku tutup mulut soal itu. Selalu jadi tanda tanya. Dan
selamanya akan menjadi tanda tanya. Tanpa pernah kutanyakan. Yang aku
tahu dan semua jurusan tahu, calon-calon itu adalah tertinggi setiap
jurusannya.
...
Rabu, 30 Oktober 2013. Pukul 08.30 WIB
Euforia
wisuda tepat di depan kami. Gedung Aula Puri Adya Garini menjadi saksi
217 wisudawan Politeknik Manufaktur Astra di dies & natalis ke 14.
Aku pun larut dalam euforia tersebut. Seakan-akan semuanya tumpah ruah
jadi satu. Letup kegembiraan, foto bersama bergandeng bersama orang tua,
tukang foto yang jepret sana sini, jas-jas hitam bagi yang laki-laki
dan kebaya bagi yang perempuan. Kesemuanya melebur menjadi satu bingkai
wisuda.
Aku
mengantarkan kedua orang tua dan kakak ku menuju kursi tamu undangan.
Semua bangku penuh. Hanya tersisa beberapa baris paling belakang. Tanpa
pikir panjang, aku mendatangi panitia berjas kuning di sisi tengah
menanyakan.
"Mas, kursi undangan paling depan udah penuh ya?"
"Kalau kursi paling depan untuk orang tua dari wisudawan terbaik." Katanya
"Oh, sudah ditentukan ya siapa terbiaknya?"
"Wah, belum tahu juga deh mas."
Aku
berfikir sejenak. Siapa dari jurusanku. Apakah 'impian' itu hadir di
sini? Ah, sepertinya tidak. Mungkin untuk dia. Lagi pun tak ada yang
mengabarkan sesuatu padaku. Yah, sepertinya bukan aku. Euforia wisuda
mengaburkan 'mimpi' itu. Aku mencoba tak memikirkannya.
Dan menyadarkan diri, kemudian mengajak Bapak, Ibu dan kedua kakakku duduk di kursi belakang yang tersisa.
...
Rabu, 30 Oktober 2013. Pukul 10.30 WIB
Tak
ada yang luar biasa hari itu. Aku hanya bertanya-tanya soal role play
wisuda pada teman sebalahku. Sehari sebelumnya aku tidak datang untuk
gladi. Aku di Bandung menjemput Bapak dan Ibuku di tempat sudara. Dan
keesokan paginya baru bertolak menuju tempat wisuda.
Sepertinya
role play hari ini ribet. Harus begini begitu dan ga boleh ini itu. Aku
begitu seksama memperhatikan temanku memperagakan gerakan di panggung
nanti. Meleburkan 'impian' lama untuk hari bersejarah ini. Sepertinya
semua berjalan seperti pada roleplay yang diceritakan teman-teman. Aku
hanya mengikuti. Setelah wisudawan maju ke panggung lewat jalan tengah,
prosesi wisuda, kemudian jabat tangan, mengambil plakat dan transkip
nilai kemudian kembali ke bangku awal melalui jalan di sisi kanan
panggung. Berjalan memutar menuju bangku awal. Tapi ada satu pemandangan
yang menggelitik mataku. Ada satu orang yang berdiri di barisan paling
depan di sayap kiri. Aku penasaran dan menanyakan pada teman sebelahku
"Itu ngapain yang d depan?"
"Wisudawan terbaik pret."
"Oh, wes dikasih tahu yo?"
"Iyo, wingi pas gladi."
"Prodine awake sopo"
"Si ...
"Oh, emang pro IPK ne?"
"Wah, ga reti aku. Pie pret we iso kesalip"
"Hahaha. Durung rejeki paling."
Dari
situ aku mulai belajar menerima keadaan bahwa memang sepertinya
'impian' itu bukan untuk diriku. Aku hanya bisa menjaga amanah tertinggi
itu hanya sampai pada smeester 5. Dan di akhir aku kalah. Tak apalah
kalau memang begitu kenyataannya. Dengan penuh rasa penasaran, kubuka
transkip nilaiku. 3,63. Alhamdulillah. Masih konsisten, hanya kurang
berkembang saja.
Dan satu hal yang paling ku tunggu adalah pengumunan wisudawan terbaik jurusanku. Aku ingin tahu seberapa jauh aku terlampauhi.
Saatnya pun tiba. MC menyabutkan nama, berikut komulitifnya diikuti Judul Tugas Akhir dan tempat dia bekerja sekarang.
Aku
terperangah...tak percaya. Sedikit pun dia tak melampauiku untuk
penilaian yang kurasa paling mendekati ke-objektifan ini. Kalo aku salah
kalian bisa membenarkan dan kalau pun aku benar, kalian seharusnya
mengiyakan. 3,61 lebih kecil dari 3,63.
Dengan
aksioma yang paling dipercaya keseluruhan mahasiswa di kampus itu,
seharusnya namaku lah yang disebutkan MC, bukan yang lain. Pun mahasiswa
terbaik jurusan lain mendapatkan kursinya dengan aturan main dan
aksioma yang sama. Komulatif teratas. Aku tak percaya, aku tak ikhlas
karena aku merasa terzalimi. 'Impian' yang telah kupupuk jauh, usaha
yang kutempuh terus dan komulatif yang selalu pada trek yang kudambakan.
Namun aku hanya duduk menikmati pecundangan di tengah kerumunan euforia
itu.
Keributan kecil terbentuk dalam 3 barisan ku. Beberapa mengatakan padaku dengan lirih
"Mungkin dia udah bekerja dan elu masih belum. Masak nanti dibilang "Fredy belum bekerja". Kan lucu."
"Kok alesannya culun?. Kalo gue mau nerusin kuliah emang salah?" Jawabku tangkas.
Memang
saat ini aku belum masuk kerja, aku bekerja mulai lusa, tanggal 1
November. Tapi kalo itu yang dipakai alasan aku tak mau menerima.
"Ah, TA lu kali, nilainya B"
"Tuh Sigit, TA terbaik 2013 nilainya B." Jawabku geram
Sigit
merupakan teman sekampung denganku. Dia telah menceritakan benyek
tentang project-nya kepadaku. Dan aku juga sering minta saran kepadanya
mengenai project akhirku.
"Ah, gara-gara ga datang gladi resik kali lu"
"..........."
Untuk
yang satu ini aku tak mampu menjawab. Sungguh alasan yang sangat tidak
masuk akal. Bukannya otakku tak mampu mencari sanggahan terbaik, tapi
otakku tak habis pikir menjawab alasan paling konyol, lucu dan aneh ini.
Kemudian suasana tenang kembali. Teman disampingku mecoba menguatkanku dengan menepuk-nepuk bahuku. "Tenang Pret". Katanya
Tapi
pukulan pahi itu meremuk hancurkan 'impian', kepercayaan, keobjektifan
dan euforia kegirangan bertoga menjadi puing-puing emosional penuh
ketidak ikhlasan.
Darah
koleris yang telah diwariskan oleh nenek dan bapakku menguatkan ku
untuk menanyakan perihal tersebut pada Sekprod setelah selesai seluruh
rangkaian acara yang endingnya beigtu memuakkan.
"Masih ada penilaian lain"
"Emangnya apa itu Pak?
"Pokoknya ada." Jawabnya santai.
Sungguh
jawaban yang tak bisa kuterima. Mereka semua larut dalam euforia. Tanpa
mengempati diriku yang terzalimi. Mungkin terzalimi dengan sengaja.
Ahhh...
Harusnya
aku yang berjalan menyusuri karpet panjang itu, menggandeng bapak dan
ibuku yang kian menua, sebagai hadiah untuknya, juga hadiah ulang tahun
Adikku ke-19.
Harusnya aku memetik mimpi yang telah lama kusemai.
Sehingga mimpi itu tak seterusnya menjadi mimpi panjang, terbawa mimpi sepanjang hayat.
...
Jum'at, 2 November 2013. Pukul 06.09 WIB
Aku
terjaga kembali dari mimpi panjang. Kali ini bukan dari alarm HP ku,
namun dari panggilan masuk berulang-ulang. Ibuku menelpon. Sudah 3 kali
panggilan tak terjawab. Dan satu pesan dari Ibuku untukku.
"Assalamu'alaikum
mas, gelar juaranya jangan terlalu dipikirin nanti ganggu kerjaanmu lo.
Ibu yakin Mas pasti akan mendapatkan gelar yang lain. Semangat terus ya
jangan sedih."
Satu sms itu cukup membuatku mati hari itu. Berkali-kali bapak dan ibuku menelponku tapi tak kuangkat. Berkali-kali Bapak dan Ibuku sms tak kubalas. Aku tak mampu menemukan bahasa dan bahasan terbaik hari itu. Sebagai seorang pecundang.
.................................
Ibarat
liga dalam satu musim sebuah permainan bola. Aku menempati poin
tertinggi dalam klasemen yang ada. Tapi di akhir musim pemenang piala
dambaan itu adalah posisi kedua yang poinnya di bawahku. Hanya karena
dia unggul dalam selisih gol.
Setahuku, selisih gol hanya dipakai kalau poin keduanya sama. Titik.
Sepertinya
cacat ini hanya akan terjadi padaku. Lengkaplah aku mendeskripsikan
diriku sebagai 'yang terpecundangi dan terzalimi' sepanjang zaman.
Jika
kampus lain mengakhiri euforia dengan melempar toga ke ufuk-ufuk
tinggi, aku hanya mampu melemparnya lurus di depanku. Membiarkannya
tersungkur lemah di tanah.
Selamaaat yaaa.. udah menang di GA keren ini.
ReplyDeleteSemoga makin semangat ngeblog
Yaaa.........hadiahnya sepertinya cocok dengan saya
DeleteSemangat... (o)