Desember tahun ini semakin berakhir. Namun tak berlaku untuk hujan yang
tiap hari semakin betah turun mengalir. Hampir setap sore aku berpayah
payah pulang kerja menembus hujan dengan ponco yang kian rombeng, bolong
di sudut sana sini. Atau paling tidak hujan gerimis kecil-kecil akan
membuatku nekat menempuh 20 menit perjalanan hanya berjaket kain yang
pasti basah sesampainya di kos-kosan.
Biasanya aku langsung merebahkan badah yang kian batuk serau ini ke dua
tumpuk kasur tipis yang kubalut dengan sprei ungu bercorak daun hijau
besar-besar. Sekejap memejam mata kemudian terbangun lagi, termangu
menikmati sekujur tulang belakang yang gemeretak. Sepertinya malam ini
bakal seperti malam yang lain-lain. Aku hanya meneguk segelas air putih
dari dispenser yang kemarin baru kubeli, juga dengan warna ungu.
Kemudian aku rebahan lagi di kasur meredam gemeretak tulang sambil mata
terbuka menatap terang lampu di atap plafon yang putih.
Batuk ini semakin menjadi-jadi saja. Menyebar ke seluruh saluran
tenggorokan hingga ujung hidung. Menyumbat aroma bunga lavender dari
kotak pewangi ungu di atas almari yang bisanya kuhirup dalam-dalam. Aku
pun semakin terdiam. Meninggalkan halaman-halaman dua tumpuk buku baru
yang belum selesai terbaca. Melupakan sejuk air mandi di bak-bak
penampungan.
Tanpa berlama-lama, mataku mulai terpejam. Namun benakku
mulai berlari riang. Mencipta ruang dan waktunya sendiri. Membawa tubuh
yang kurus lunglai dalam dimensinya yang lain.
Ah, aku rindu aroma lavender ini.............
-------oOo-------
Aku sedang berjalan menanjak menapaki setapak diantara dua bukit kecil.
Dengan tas ransel besar aku tergopoh gopoh menyelesaikan tantangan ini.
Katanya jika kita mampu menyelesaikan satu tanjakan panjang ini tanpa
istirahat dan menoleh ke belakang satu pandang pun, cinta kita bakal
abadi. Mungkin seabadi birunya air danau Ranu Kumbolo tepat di
belakangku. Udara yang semakin berat karena kabut yang kian rapat tak
menyurutkan langkah kaki yang juga mulai terisak. Haaaah, 20 menit
berselang sampailah aku di ujung Tanjakan Cinta di kaki gunung Semeru
yang melegenda. Berteduh di bawah cemara-cemara kecil yang memberikan
kabut lebih banyak, juga air embun yang makin riak.
Sebenarnya musim hujan di bulan Maret-Juni bukanlah waktu yang tepat
untuk berkunjung ke sana. Tanahnya yang berdebu kering sepanjang treknya
akan menjadi tanah berlumpur. Sedang di kanan-kirinya, gunung-gunung
kecil menjulang gagah dengan hutannya yang tinggi lebat. Namun aku
memaksakan diri berkunjung ke sana. Bukan untuk puncaknya yang tertinggi
di pulau Jawa. Tapi untuk padang savana Oro-Oro Ombo yang
bermetamorfosis menjadi tanah Eropa selatan. Dipenuhi dengan bunga Verbena Rasiliensis Vell yang berwarna ungu mirip taman bunga lavender di Provence, negeri Prancis.
Oro-Oro Ombo (from Google) |
Setelah menghabiskan beberapa teguk air di bawah cemara itu, aku
bergegas menyapa padang savana di balik dua bukit kecil yang baru
setengah kulewati. Menuruni turunan bukit dan kulapangkan kedua tangan
yang membeku di balik mantel. Mengeluarkan jemari yang gemerincing
sesaat setelah sarung tangan kulepas. Menyambut bunga bunga kecilnya
yang bening, sebening air embun di pucuk-pucuk tunasnya. Kudekatkan
penciumanku padanya, merasakan semerbak wangi dari putik-putiknya.
Oro-Oro Ombo (from Google) |
Ingin rasanya segera membanting ransel besar ini. Mengeluarkan tenda dan
perbekalan. Semalam menginap dalam tenda di tengah-tengahnya. Namun
semakin sore hujan semakin cepat menyergap. Mengeraskan suara batuk dari
dalam tenggorokan.
-------oOo-------
Dan batuk itu pula yang kembali menyadarkanku dari benak-benak di
lingkar otak yang mulai sadar. Kudapati aku kembali di rebahan kasur
dengan batuk yang kian keras. Untung saja semua tetangga kosanku
berpulang ke kampung. Jadi tak terlalu menggangu tidur mereka.
Sudah hampir jam 9 malam. Aku beranjak menuju aroma lavender di atas
almari itu. Kudekatkan ujung hidung tuk merasa kembali wanginya. Namun
sama saja, Tak ada rasa yang kukecap. Lendir-lendir ini sukses
menghilangkan nuansa malam ini.
Aku pun keluar. Berdiri sendiri di ujung lantai dua yang menghadap
jalanan. Meraih bulir-bulir gerimis hujan yang masih saja turun.
Memandang sejurus langit selatan di depanku. Mengingat-ingat kembali
mimpi yang baru saja mendatangiku.
Ah, andai saja tahun lalu aku ke Semeru di bulan-bulan penghujan itu, pasti satu mimpi ini akan terlunasi.
Dan aku bisa melanjutkan mimpiku yang selanjutnya di padang lavender
berkutnya, di selatan Eropa. Berdingin-dingin oleh sejuknya kaki gunung
Alpen. Duduk khusyuk di atas dipan kayu, tepat di bawah pohon yang
rindang. Menatap janjang-janjang bunganya yang ditanam panjang-panjang.
Menapaki halaman-halaman buku yang belum selesai terbaca.
Berlama-lama..... hingga senja pun menyapa.
Provence (from Google) |
Oro-oro ombo... entah ini mimpi atau bagaimana kejadiannya. Tapi prediksiku mas yang satu ini sudah pernah ke semeru deeeeh.... tidaaak! *kemudian iri*
ReplyDeleteTentang semeru kutulis sampai 5 postingan.... :>)
DeleteHahahaa