Cibodas, 13-15 Oktober 2013
Sabtu
siang (13/10) aku menuju kosan Alif. Packingan sangat sederhana. Satu
daypack cukup untuk berdua. Rencananya logistik beli di Cibodas.
Sebenarnya bisa saja kita naik motor berbocengan, tapi melihat kondisi
motor Supra kami berdua yang menua membuat kita naik motor masing-masing
beriringan.
"Lif, kapan terakhir ke sana?" tanyaku.
"Dua minggu yang lalu, pas OPSI. Elu sih ga ikut."
"Hehehe. Masih sering hujan ga di sana?"
"Masih kayaknya, kemarin kan OPSI hujan. Baru kelihataan tuh anak-anak yang sebenarnya"
"Siplah gua juga mau main hujan-hujanan"
...
Kami berdua pun berangkat. Aku hanya membuntutinya di belakang, belum tahu jalur. Alhamdulillah, belum sampai tujuan do'aku dikabulkan. Belum sampai setengah perjalanan hujan turun, di Pasar Rebo. Setelah mulai reda kami melanjutkan dengan memakai jas hujan. Hujan-hujan bebasnya di gunung, bukan di jalan. Selanjutnya macet parah di Depok dibayar lunas dengan hujan lebih deras dari Cibinong hingga Bogor. Bener bener ditumpahin itu air. Nikmat banget. Puji syukur ya Allah.
Pukul 5 sore aku sampai di warung-warung di Cibodas. Tak menemukan si Alif. Terakhir kulihat mantel kuningnya di daerah Taman Safari, Cisarua. Dia pasti di depan dan aku selalu di belakang. Tak mungkin aku mendahuluinya. Kalaupun iya, aku akan langsung mengendurkan putaran gas dan membelakang. HP dan dompetnya terbawa di dalam mantelku. Tiga kali memutari area tersebut dan tak melihat muka nyengirnya. Aku pun turun kembali ke pertigaan Cobidas dengan harapan menemui dia yang sedang duduk merokok menungguku, seperti di perjalanan tadi. Belum sampai pertigaan, dia sudah mengendarai motor naik dan aku pun menujuknya dengan jariku.
"Ini dia orangnya. Kok bisa dibelakang?"
"Gua kira elu kenapa-kenapa di belakang man. Ga nongol-nongol. Udah berapa kali gua berhenti nungguin elu. Di kebun teh, pertigaan. Ngrokok aja. HP di elu. Dompe di elu juga. Bensin juga mau habis."
"Gua dari jam 5 udah di atas. Di pertigaan lu ga ada, ya gua langsung naik."
...
Kami berdua naik kembali menuju warung di Cibodas. Warung Mang Idi. Tempat janjian kami dengan Mumu besok. Makan malam dan segelas jamu akar bumi andalan Alif menemani kami malam itu. Dingin, yaaah dingin. Tak sekalipun aku berjaket berkaus kaki.
Kuizinkan jengkal-jengkal tubuh ini mendingin oleh hembusan angin membawa titik-titik kabut. Merasuk dan menyejuk.
...
"Man, ngapain lo pake batik?"
"Kan hari Jum'at."
"Oh, bisa bisa. Besok ke Mandalawangi yook. Udah iyain aja. Lo masih nganggur kan? Nih gua dapet pinjeman jas hujan dua"
"Siapa aja emang?"
"Berdua aja. Tek tok. Naik malam pagi turun. Nungguin Mas Yud. Minggu Mumu mau ke air terjun sama Mbak Dina."
"Hmmmm.....yaudah. Jadi. Woles lah. Kapan brangkat?"
"Enaknya kapan? Siangan aja kali ya."
"Enaknya kapan? Siangan aja kali ya."
...
Jum'at
malam (12/10) aku pergi ke kampus. Mau balikin laptop Alif yang
kupinjam sejak bulan Mei. Sudah hampir setengah tahun laptop itu
berstatus pindah kepemilikan. Sebenarnya aku merasa tak enak dengannya.
Tuntutan menyelesaikan Tugas Akhir membuatku mengurungkan rasa sungkan
itu. Lagian aku juga yang terlalu keterlaluan. Sebenarnya pertengahan
September semua revisi sudah beres. Ngaret sebulan dari waktu yang
disepakati dulu. Dan menemani dia ke Mandalawangi besok adalah bentuk
permintaan maaf atas keterlaluanku padanya.
Sebenarnya
saat ini aku tak terlalu berhasrat naik gunung. Walau masa tenangku
terbilang panjang, aku lebih senang menghabiskannya di bilik kos-kosan.
Dengan satu alasan klasik, menghemat keuangan. Lagi pula sebulan ini
badai kegalauan juga menghujam-hujamku karena berkali-kali harus ke RS
Fatmawati menjalani Pengobatan Radang Telinga. Aku ceritakan kegalapan
itu dI hari Jum'at dan Jum'at yang lain.
Pun
akhirnya kebosanan itu memuncak. Bu dokter THT terakhir bilang bahwa
kalo mau bener-bener sembuh selain minum obat rutin, aku dilarang keras
dehidrasi, minum es, main hujan-hujan dan bla blaa blaaa. Ketika
dilarang main hujan-hujan aku pun menjadi kangen hujan-hujanan. Aku
ingat, terakhir menikmatinya dengan bebas Maret lalu saat naik ke Gedhe.
Aku benar benar kangen. Jakarta Utara yang panas dan keras membuatku
berharap hujan datang dengan derasnya dan aku akan bertelanjang dada di
roof top jemuran berdiri menyambutnya. Aku ingin hujan turun malam ini. Dan ia pun tak kunjung datang. Maka dia kudatangi saja.
...
"Lif, kapan terakhir ke sana?" tanyaku.
"Dua minggu yang lalu, pas OPSI. Elu sih ga ikut."
"Hehehe. Masih sering hujan ga di sana?"
"Masih kayaknya, kemarin kan OPSI hujan. Baru kelihataan tuh anak-anak yang sebenarnya"
"Siplah gua juga mau main hujan-hujanan"
...
Kami berdua pun berangkat. Aku hanya membuntutinya di belakang, belum tahu jalur. Alhamdulillah, belum sampai tujuan do'aku dikabulkan. Belum sampai setengah perjalanan hujan turun, di Pasar Rebo. Setelah mulai reda kami melanjutkan dengan memakai jas hujan. Hujan-hujan bebasnya di gunung, bukan di jalan. Selanjutnya macet parah di Depok dibayar lunas dengan hujan lebih deras dari Cibinong hingga Bogor. Bener bener ditumpahin itu air. Nikmat banget. Puji syukur ya Allah.
Pukul 5 sore aku sampai di warung-warung di Cibodas. Tak menemukan si Alif. Terakhir kulihat mantel kuningnya di daerah Taman Safari, Cisarua. Dia pasti di depan dan aku selalu di belakang. Tak mungkin aku mendahuluinya. Kalaupun iya, aku akan langsung mengendurkan putaran gas dan membelakang. HP dan dompetnya terbawa di dalam mantelku. Tiga kali memutari area tersebut dan tak melihat muka nyengirnya. Aku pun turun kembali ke pertigaan Cobidas dengan harapan menemui dia yang sedang duduk merokok menungguku, seperti di perjalanan tadi. Belum sampai pertigaan, dia sudah mengendarai motor naik dan aku pun menujuknya dengan jariku.
"Ini dia orangnya. Kok bisa dibelakang?"
"Gua kira elu kenapa-kenapa di belakang man. Ga nongol-nongol. Udah berapa kali gua berhenti nungguin elu. Di kebun teh, pertigaan. Ngrokok aja. HP di elu. Dompe di elu juga. Bensin juga mau habis."
"Gua dari jam 5 udah di atas. Di pertigaan lu ga ada, ya gua langsung naik."
...
Kami berdua naik kembali menuju warung di Cibodas. Warung Mang Idi. Tempat janjian kami dengan Mumu besok. Makan malam dan segelas jamu akar bumi andalan Alif menemani kami malam itu. Dingin, yaaah dingin. Tak sekalipun aku berjaket berkaus kaki.
Kuizinkan jengkal-jengkal tubuh ini mendingin oleh hembusan angin membawa titik-titik kabut. Merasuk dan menyejuk.
0 comments