Jum'at, 20 September 013
Minggu itu kejenuhan makin meningkat. Sudah hampir sebulan selesai
sidang Tugas Akhir. Surat Keterangan Lulus pun sudah di tangan sejak
minggu sebelumnya. Rasanya pergi ke kampus pun menjadi enggan. 98%
sudah selesai semua urusan akhir perkuliahan. Pun satupun pekerjaan
belum pasti di dapatkan. Hari-hari itu kebosanan menjadi-jadi. Teman
satu kosanku pulang kampung di hari Selasa, ke Malang. Dia kembali ke
Jakarta saat wisuda nanti. Ah, konfirmasi Perusahaan B yang juga belum
pasti.
Beruntungnya ada panggilan interview HR di perusahaan C. Setelah dengan
perusahaan A aku mengundurkan diri untuk perusahaan B yang tak terduga
memberi harapan tak pasti. Sekalian untuk mengisi waktu yang sangat
luang. Juga sebagai 'back-up' jika ada kabar dari perusahaan B yang jauh
dari dugaan. Siang itu, aku dan seorang temanku menunggu di jejeran
kursi lobby perusahaan C. Entah sudah yang keberapa aku masuk ke ruangan
itu. Mencoba kembali peruntungan nasib.
Hari yang ditunggu pun tiba. Jum'at, hari dimana handphone berdering
nyaring dengan contact yang tak asing. Sudah ku-save nomor HRD
perusahaan B. Kegiranganku yang meluap dalam sekejap. Semangat yang
memuncak tergambar dari langkah lari meniti tangga kos-kosan menuju area
jemuran paling atas. Mencari sinyal terbaik untuk suara ibu HRD yang
lentik. Namun asa yang membubung tinggi seufuk itu kemudian jatuh bebas
bak sebutir telur yang terlepas dari genggaman ibu-ibu saat memanaskan
minyak di penggorengan. Terjun dari jemari kirinya menuju lantai ubin
yang menghitam. Praaaakk..!!! Mengagetkan keseriusannya mengaduk minyak
panas di jemari kanannya. Membuat ibu-ibu yang sesekali mendendang itu
tersentak menghindar ke kanan hampir saja menyambar penggorengan dengan
minyaknya untuk tumpah memenuhi seluruh ruang dapur kecil di sudut
rumahnya. Astaghfirullah, ungkapnya.
"Oh, kamu di kasih resep obat ya? Itu dihabisin obatnya dulu ya? Kalo
udah nanti periksa lagi. Nah..nanti kalo sudah sembuh baru mulai masuk.
Jadi belum bisa masuk tanggal 1, kemungkinan 15 nya ya, Fredy"
Obatnya kan belum saya beli bu. Haduuuh. Pie iki ??? Pikirku keras. Tapi
sekeras apapun aku berfikir, sekeras apapun aku menolak, tetap
meleleh-leleh juga. Memang sih, masalahnya di uang. Jawaban paling jujur
yang bisa terujar. Sore itu, baru lah dimulai aktivitas yang sebetulnya
baik. Makan teratur untuk minum obat yang teratur pula. Harus belajar
lebih bersabar lagi.
Jum'at, 27 September 013
Progres yang menurut pengalamanku lebih cepat dibandingkan yang lain,
walaupun tahapan-tahapan yang harus dilalui memang lebih cepat. Itulah
perusahaan C. Semoga tidak seperti perusahaan D yang sepayung dengan
perusahaan C. Progresnya sangat lama dengan tingkat PHP tinggi. Seminggu
setelah interview HR aku mendapat undangan interview HR Manager di
perusahaan C. Mendadak memang, vie telfon sehari sebelumnya. Tidak
seperti teman senasib ku itu yang di email terlebih dahulu. Hari Rabu di
tempat yang sama kami berdua meneruskan peruntungan nasib kami.
Malama harinya aku bernostalgia. Dalam dekapan malam ibukota yang
remang. Di jalanan yang menjadi seram. Mengendarai motor pelan pun
membuat bulu kuduk merinding. Bukan karena setan atau tempatnya yang
angker, tapi karena mendengar info dari kosan sebelahku masalah preman
yang suka merampok tengah malam. Apalagi malam itu aku melintasi daerah
Kemayoran yang terkenal dengan geng motor nya.
Yah, malam itu pukul 02.30 dini hari aku bertugas menjemput teman
seperjuanganku dari Magetan. Dia pulang kampung seminggu sebelumnya
untuk mengurusi beberapa berkas. Aku pula yang mengantar seminggu
sebelumnya. Tanjung Priuk-Pasar Senen. Perjalanan yang ketiga ini pun
membuatku melamun panjang dan menggumam pelan. Hmmmmmm. Hanya itu.
Lamunan tak jelas. Lompat-lompat tak menentu arah. Sejujurnya ada rasa
rindu kampung halaman. Kerinduan.
Akhirnya hari Jum'at terakhir itu pun tiba. 27 September. Obat yang
kukonsumsi sudah habis. Dan hari itu aku pun mendapat jadwal sidang di
Pengadilan Tinggi Jakarta Utara, untuk mengambil SIM ku yang ditahan.
Pagi-pagi aku pun sudah berbaju batik rapi menegndarai motorku melewati
Jl. Danau Sunter Utara. Kemudian berbelok ke kanan di Jl. R. E.
Martadinata. Setelah menemui tikungan kekanan, terlihat di pinggir jalan
sudah mulai diisi motor yang parkir. Tepat di depan pengadilan. Di
jalan sang sama tetapi pada jalur yang sebaliknya motor yang parkir
sudah memenuhi sepanjang gedung Pengadilan Negeri dengan 2 bershaf. Bagi
yang tidak punya nyali batu saya sarankan untuk mengajak teman, karena
begitu standart motor dibentangkan para calo-calo sudah merkoar-koar
dengan jasanya. Untungnya aku sedikit punya nyali untuk berkata tidak.
Yah, enggak Pak.
Setelah senam pagi usai dan gerbang dibuka. Langsung saja para pelanggar
lalu lintas-tersmasuk saya-memadati dinding berisi daftar sidang hari
Jum'at itu. Panjang banget daftarnya. Ada kali 50 halaman. Itulah profil
kecil gambaran pengguna jalan di Jakarta. Hitung saja satu halaman ada
sepertinya 25 nama, tinggal mengalikan saja. Rata-rata 1000 pelanggar
dalam satu hari di area Jakarta Utara. Itu angka perkiraan yang tidak
bisa dipertanggung jawabkan. Astaghfirullah. Parah dan payah -termasuk
saya yang menjadi satu dari sekian itu-. Gambaran sidang ga jauh beda
dengan yang di tv. Saya hanya merasa perlu merubah diri dari hal
terkecil, meskipun itu hanya tidak melewati jalur busway. Atau lebih
sabar menunggu lampu hijau menyala untuk memutar gas di tangan saya.
Oh, iya tadi kan obat yang aku konsumsi sudah habis. Jadilah Jum'at sore itu aku berjalan menyusuri kota Jakarta dari ujung ke ujung lagi. Kali ini aku tak mau kesorean, agar tak terlalu mendapat kemacetan parah. Alhasil pukul 16.00 ane sudah istirahat sejenak di mushola kecil di samping Komplek Griya Husada RS. Fatmawati. Antrian waktu itu belum ada, aku yang pertama. Tanpa menunggu lama, aku pun masuk.
"Sudah ada perbaikan. Tapi ya belum sembuh total. Masih harus minum obat lagi. Saya kasih obatnya beda dari sebelumnya. Diminum teratur". Begitu kurang lebih penuturannya. Yaah, begitulah. Mau pegimane lagi.
Pengorbanan itu tak selamanya mudah. Butuh perjuangan keras. Perlu kesabaran ekstra. Juga belajar berkorban berarti belajar mensyukuri pilihan-pilahan yang kita buat.
Aku belajar bersyukur lebih keras atas perjalanan panjang dari Jum'at ke Jum'at yang lain ini. Alhamdulillah. Ujian ini menunjukkan Tuhan masih sayang dan melihat aku di sini. Bukan apa-apa. Aku merasa sedang ditempa sedikit demi sedikit oleh-Nya.
0 comments