16 February 2013, Diary's Note
Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya
Sepotong kalimat di bukunya menginspirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...
Operet
Rinti-rintik hujan begitu betahnya turun. Begitu habis matahari tak
kunjung muncul pun. Hingga sore menjelang. Tetap dengan langit Kota
Magetan yang masih membisu. Mulai sedikit ramai oleh warga-warga yang
melepas penat setelah seharian bekerja membanting tulang mengolah tanah.
Warga-warga yang ketika sore duduk-duduk santai di depan teras rumah
mereka. Di sepanjang jalan, sampai sepanjang gang-gang rumah. Lebih
ramai lagi para ibu-ibu yang tergopoh-gopoh menyuapi anak kecil
kesayagangannya. Anak-anak kecil yang mulai belajar berjalan membuat
fragmen sore itu makin riuh. Berlarian sana sini. Meledek teman
seumurnya. Hingga terjadi perdebatan sengit bagi mereka, tapi lucu bagi
ane. Mungkin lebih lucu lagi bagi bapak-bapak yang seharian lelah
bekerja. Menjadi "OVJ" yang memberi alasan mereka untuk tertawa. Namun,
untuk para ibu-ibu perdebatan kecil para anak kecil itu menjadi hal
kecil untuk menggerakkan mereka menjadi penengah, hakim. Yang
kalem-kalem bakal meluruh ini dan itu. Tapi yang galak-galak bakal
berteriak dari kejauhan untuk melerai. Bingunglah para ibu-ibu itu
melihat canda anak mereka. Senanglah bapak-bapak mendengar tawa anak
istri mereka. Nikmatnya saya, menonton suguhan operet kecil di desa
kecilku ini. Operet sore berjudul 'mereka yang sederhana'.
"Eh, Iki Fredy to? Hla kowe kapan muleh lee" (Ini Fredy ya? Kapan kamu sampai?
"Nembe enjing mau Puh" (Baru saja pagi tadi)
"Dipapak Pakmu to?" (Dijemput Bapakmu?)
"Injih, pendak enjing wau. Ten stasiun" (Iya, dini hari tadi. Di Stasiun)
Seperti biasa
ketika pemuda-pemudi kampung yang pulang dari perantauan. Dialog-doalog
tersebut pasti terucap dengan logat merekan nan kalem dan arif. Terutama
para bapak-bapak dan ibu-ibu yang 'gupuh' melihat ada yang 'pulang
kampung'. Selama dialog, tangan selalu dijabatnya. Semoga do'a dan restu
mereka curahkan untuk ane, juga para perantau-perantau yang selalu
merindukan mereka.
"Kowe ke neng Jakarta to, Dy?" (Kamu di Jakarta ya?)
"Injih Puh" (Iya Puh)
"Hla piye kerjomu neng kono?" (Bagaimana kerjaanmu disana?)
"Kuno niki taksih sekolah kok Puh. Durung kerjo" (Aku ini masih sekolah/kuliah Puh. Belum kerja)
"Oh, iyoo yooo. Yo ngene iki lho Mbokpuh mu iki. Wonge lali'an" (Oh, iya yaa. Ya begilah Bibimu. Sudah Pelupa)
"Injih, mboten nopo-nopo kok Puh" (Iya, ga pa apa kok)
"Tak dongakne sekolah sing pinter yo le" (Saya doa'akan jadi orang pintar ya)
"Injih Puh, nyuwun pangetune" (Minta do'a restunya Puh)
Hampir seperti
itulah dialog-dialog kecil setiap ane bertemu dengan tetangga-tetangga
di rumah. Biasanya mereka seperti melihat orang asing. Dan aneh,
mungkin. Tapi ya ane samperin aja. Langsung saya jabat tangannya. Hehee.
Sekarang mereka sudah terlihat lebih mengkerut garis-garis wajahnya.
Hmmm. Berbeda dengan 3 tahun lalu. Mungkin ane juga terlihat lebih tua
bagi mereka. (Yah, begitulah ane. Selalu dipanggil tua sama teman-teman
sajawat gara-gara umur ane paling tua. Semoga yang tua hanya umurnya.
Amin). Makanya beberapa dari mereka 'pangling' kalo melihat saya. Ada
yang bilang makin putih lah, makin gede lah, makin kurus lah, makin ini
dan itu. Macam-macam dah. Lucu. Unik. #CintayangSederhana
Euforbia
itu masih merah dengan bunganya yang merekah. Kamboja itu juga masih
tegap dengan wanginya yang tak semerbak. Beberapa tanaman bedaun hijau
kecil-kecil juga masih tetap pada tempatnya yang dulu. Ibu menambah
beberapa pot lagi tanaman hija kecil yang ane ga tau namanya itu. Makin
rindang aja nih teras rumah. Adeem. Berenjak ke belakang rumah,
kayu-kayu yang duunya berantakan sudah terlihat sedikit rapi oleh Bapak.
Beberapa tangkai lombok juga ditanam ibu di belakang rumah. Wah, ini
rumah apa kebon?? Hahahaha. Dibilang kebon juga ga pa pa. Yang penting
nyaman. Memang rumah kecil saya tempat yang paling nyaman. Bersama
mendung yang menyembunyikan senja, juga menyembunyikan puncak 'Harga
Dumilah'.
Sore pertama, meriak-riakkan rasa. Maghrib
pun tiba disusul Isya'. Ane sudah mulai beradaptasi kembali dengan
kampung halaman, terutama soal bahasa. Hampir 2,5 tahun di Jakarta
dengan bahasa sehari 'lu-gue' lama-kelamaan mulai luntur dengan
'njih-mboten'. Mulai susah lagi ngomong bahasa Jakarta di rumah. Semacam
jadi Alien, orang aneh. Atau orang gila kalo ngomong Jakarta di situ.
Ckckck. Untung saja walau dengan logat sedikit 'plekak-plekuk', ane
masih bisa 'boso kromo'. Jadi ga malu ngobrol sopan sama orang yang
lebih tua. Apa lagi ngobrol sama Bapak Ibu ane sendiri.
Malam yang
dingin itu, rencana pengen ngopi sama anak-anak (temen-temen maen dulu
waktu masih di rumah) ane urungkan. Dingin. Lagi pun Si Ibu juga udah
ngomel mulu waktu sebelumya ane bilang mau keluar.
"Neng omah
ae. Njowo udan ga jane. Leren. Lereen. Ga kesel opo. Lagi teko omah wes
arep nggaladak ae" (Di rumah saja. Tahu ujan ga sih. Istirahat. Baru
tadi pagi nyampe rumah udah mau nglayap saja)
Iya. Capek
seharian tidur maksudnya. Ckckck. Untung saja malam itu Mas Har dan Mbak
Tum maen ke rumah. Jadi ada alasan eksternal buat menahan diri supaya
tidak jadi ngopi keluar. Ckckck. Mulailah mereka membuka pembicaraan
dengan ane, seperti biasa. Tanyakan kabar, dan bla..blaa...blaaa.
Kemudian ngobrol santai dengan Bapak Ibu. Ane lama-lama juga jadi nonton
mereka berempat ngobrol. Adek lagi sibuk dengan kamarnya yang tak mau
diganggu. Jadi ndengerin mereka berempat ngobrol dah. Semakin bosan,
cuma sesekali aja ane masuk dalam pembicaraan. Kemudian nonton TV.
Sembari tiduran. Dan akhirnya pun ketiduran lagi. Malam pertama d
kampung halaman, tidur panjang.
sepanjang malam itu.....mimpi-mimpi masa lalu datang kembali padaku
aaaarrrkhhh....sudahlah pergi
berkali-kali kukatakan..."pergi!!!"
namun kau datang kembali
....................................................
Riak-riak Rasa itu...
(...to be continued)
0 comments