16 February 2013, Diary Note
Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya
Sepotong kalimat di bukunya mengisnpirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...
Mereka yang Sederhana...
Sabtu
pagi itu puas mengendarai motor mengantar Si Adek ke sekolahnya, dekat
dengan alun-alun kota Magetan. Di sebelah baratnya, Masjid Agung yang
masih dalam renovasi sepertinya tak jauh beda penglihatannya dengan 6
bulan sebelumnya, ketika aku pulang. Tepatnya ketika bulan Ramadhan.
Ckckckckc. Sudah ga sabar melihat dua calon tiang besar menjulangnya
yang akan lebih memperlihatkan syiar Islam di kota kecilku ini.
Sesampai di
rumah, suasana hening pun menyapa. Bapak dan Ibu sudah berangkat ke
sawah. Melakukan rutinitas di minggu-minggu panen seperti ini. 'Derep'
alias 'Nyabet', atau bahasa kerennya 'Panen Padi'. Yah, kalau
karyawan-karyawan berdasi mungkin rutinitas di tempat kerja setiap
harinya selalu sama dari pukul 08.00-17.00, dari tanggal 1 sampai 30,
dari Januari-Desember. Tapi berbeda dengan para petani-petani di desa
kecil ini. Akan ada minggu-minggu panen, minggu-minggu 'tandur',
minggu-minggu 'njemur' (bakal penuh tuh jalan sama jagung atau padi),
bulan-bulan 'matun'(menyiangi rumput), minggu-minggu 'eleb' (mengairi
sawah) yang penuh antrian..ckckckc, minggu-minggu 'ngrabuk', sampai pada
akhirnya tiba pada minggu-minggu panen lagi. Satu siklus bisa
membutuhkan waktu 3-4 bulanan dah. Lama ya....? Yah, begitulah mereka. Begitu
juga dengan minggu ini. Minggu panen, hampir semua warga bersuka cita
dengan rizqi Tuhan karena masih bisa memanen hasil bumi mereka. Jadwal
'derep' pun dibuat secara lisan tanpa daftar/list. Ckckck. Besok ke
tempat si A, besoknya ke Si B, dan terus sampai semua kebagian. Bapak
Ibu pun juga harus menyisipkan sawahnya agar masuk dalam jadwal
tersebut. Mau ga mau, saling menyesuaikan.
Dan salah satu efek dari minggu-minggu panen ini adalah setelah
jam 7 pagi, jalan-jalan, rumah-rumah, gang-gang, sampai got-got pun
menjadi sunyi. Hening ditinggal para warga ke sawah kebanggaannya.
Bener-bener suueepiiii. Yang ada hanya beberapa toko-kelontong yang
masih buka lapak. Tak seberapa. Atau mungkin hanya beberapa balita
bersama ibunya, itu pun hanya duduk-duduk di depan teras rumah mereka.
Kemudian masuk lagi ke dalam rumah. Hihihihihihi. Masih udik. Unik.
Itulah
yang menyambut ane ketika nyampai di rumah. Sepiii sepoi-sepoi. Ane pun
akhirnya cuma duduk-duduk bengong di teras rumah, bingung mau ngapain.
Sesaat kemudian masuk ke kamar, kembali bingung pengen ngapain. Ke
tempat makan pun masih bingung dengan apa yang harus dimakan. Kemudian
muter-muter ga jelas di depan rumah. Sungguh sepi sepoi-sepoi, mendung
pun mendulum. Hmmmmm. Sepertinya hujan mau turun. Dan menjadi tanda alam
juga buat ane. Petunjuk untuk langsung meluncur ke kamar ane.
Tiduuuurrr. Kabuuuur dari keheningan, ke tempat yang lebih hening.
Keheningan ini...jauh dari hiruk pikuk ibukota,
aku merasa lebih damai dalam peraduanku di kamar tidurku yang mungil...
....................................................
Riak-riak Rasa itu...
(...to be continued)
0 comments