17 February 2013, Diary Note
Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya
Sepotong kalimat di bukunya menginspirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...
Kala Pagi itu Ironi Menusukku
Minggu pagi,
Hari kedua
ane di kampung tercinta, 'Truneng Calm City'. Kalau SID (Superman is
Dead) dalam lagunya bilang Pantai Kuta dengan 'Kuta Rock City', maka
dalam tulisan di blog ane ini dengan bangga ane bilang 'Truneng Calm
City'. Alias 'Kampung Woles'(woles=selow), begitu tenang ,
adem ayem. Jalan-jalannya pun udah pada 'woles'. Jalan gedenya 'woles'
banget. Kalo orang kampung ane bilang 'aspal goreng'. Ckckckck. Yaah
udah selevel sama jalan tol di Jakarta lah. Padahal kampung ane masih
banyak banget sawah. Kereen. Kalo jalan agak masuk ke dalem-dalem
namanya 'aspal godhok' (godhok=rebus). Ckkckckckck. Malah makin ngawur
aja orang-orang kampung itu. Tapi woles-woles aja, Calm. Agak sedikit
kasar dari pada yang pertama tadi. Tapi masih layak, pake banget
layaknya. Kagak ada lobang gede pun. Nah, yag terakhir namanya agak
udik. 'Makadam'. Yaaak, 'jalan makadam'. Jalan yang paling masuk-masuk
ke dalam. Batu-batu gede di bagian bawah yang ditutupi kerikil-kerikil
dicampur tanah dan lumpur secukupnya. Jadilah jalan super selow di
kampung ane. Bagaimana tidak?? Kalau hujan paling becek, kaki pun jadi
tersoek-soek. Kalau terik paling bergejolak, membuat pengendara motor
dan sepeda melonjak-lonjak. Saking kasarnya. Berkelok-kelok di sepanjang
gang sebagai akses masuk ke rumah warga yang tempatnya agak ke dalam.
Minggu pagi,
Masih begitu
pagi. Jam 3.00 dini hari. Ane mulai terjaga dari tidur berkepanjangan.
Dingin. Masih dingin banget. Badan dipaksain buat beranjak. Keluar
rumah. Blaaank. Sepi. Kagak ada apa-apa. Tapi di atas sana yang paling
rame. Dan ga bisa ditemuin di Jakarta pemandangan rame itu. Langit.
Langit dini hari. Langit paling bersih daripada waktu-waktu yang lain.
Paling terang diantara jam-jam lain. Paling indah, dah. Segaris langit
terang, dengan jutaan, atau bahkan milyaran gemerlapan di dalamnya.
Memanjang dari utara ke selatan. Sabuk galaksi bimasakti-kah itu?
Mungkin saja iya, ane ga faham. Yang penting nikmat buat dilihat. Yang
ane tahu mah, nikmat Tuhan paling indah di saat-saat seperti itu. Yakin
deh. Langit aja sampai dibuka-buka. Diterang-terangin. Diperlihatkan
dengan sebegitu mempesonanya. Bumi yang mati pun mungkin juga terpesona
melihat atapnya yang hidup. Hidup bersama do'a-do'a dan munajat para
muslim-muslimah.
Minggu pagi,
Masih saja
pagi. Jam 04.30 menjelang fajar. Para muadzin mengumandangkan adzan
subuh. Mencoba membangunkan warga-warga yang sedang nikmat dalam
peraduannya. Suara-suara tua nan ringkih itu begitu semangat
menggerakkan membran-membran speaker langgar yang juga saudah tua. Serak
memecah pagi nan dingin juga mati. Kemudian mereka sambung panggilan
sholat itu dengan pujian-pujian arab penuh penghayatan. Makin lama makin
kecil suaranya. Kian habis suaranya. Dan suara terakhir adalah ketika
mengucap iqamat. Iya, benar-benar suara terakhir. Satu tarikan nafas
panjang sampai 2/3 iqamah, kemudan mereka sambung dengan nafas kedua
untuk menegaskan lafadz
"qad qāma tis-salaat...qad qāma tis-salaat... āllahu ākbar, āllahu ākbar...lā ilaha illā-llah..."
Tuntas sudah tugas mereka pagi itu. Hasilnya?? hanya segelintir saja.
Benar-benar segelintir. Jari-jemari pun bakal malu kalau dibuat ngitung
jamaah subuhnya. Hmm. Ironi memang. Yang lebih ironi dan memalukan
adalah langgar depan rumah ane. Entah sudah berapa subuh dia tetap saja
gelap gulita. Semenjak imam langgar itu menghadap ke haribaan-Nya waktu
ane masih STM dulu, syiar Islam di RT ane khususnya menjadi kian
menurun. Benar benar turun. Tidak ada yang meneruskan tugasnya. Lampu
nya cuma hidup cuma dari Magrib-Isya untuk sholat berjamaah segelintir
orang juga. Imamnya pun sudah begitu tua. Para warga lebih nyaman untuk
sholat di rumah masing-masing. Yang muda-muda? Langgar itu sudah hampir
mati. Sudah tidak ada yang mengaji lagi setiap Magrib sampai Isya. Sudah
tidak ada lagi checklist sholat lima waktu bagi anak-anak kecil yag
akan mengaji. Sudah tidak ada lagi cerita Si Kancil dari Bapak Parni
setiah hari Kamis. Iya, saya ingat setiap Kamis dia mengisahkan banyak
cerita. Ironi. Menyayat hati. Benar-benar ironi. Yang dulunya mengajar
mengaji kini sudah memiliki anak dan istri mereka. Yang dulu diajar
sudah pada pergi ke negeri orang. Termasuk saya. Hanya 5 orang pemuda
generasi ane. Semuanya pergi ke perantauan. Ironi, sungguh ironi. Yang
sudah punya istri sudah tak ke langgar lagi. Yang masih kecil-kecil tak
ada yangg mengajak ke langgar lagi.
Minggu pagi,
Engkau masih saja pagi. Ironimu
menyayat hati. Sungguh-sungguh sakit. Akankah aku bisa kembali ke
tempat ini? Mengajak mereka untuk menghidupkan langgar ini lagi?
....................................................
Riak-riak Rasa itu...
(...to be continued)
0 comments