24-27 Agustus 2012, Summit Note
Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut `Ranu Kumbolo`
Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta
Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa`Puncak Abadi Para Dewa`.....
~Mahameru - Song of Dewa19 (1994)~
Selalu di
bagian akhir cerita ini ane menyebut kata 'dewa'. Emangnya di Mahameru
memang ada 'dewa'? 'Dewa' apaan? Wallahu alam. Ane cuma terinspirasi
dari lagu di atas. Yang menyebut bahwa Puncak Mahameru merupakan 'Puncak
Abadi Para Dewa'. Mungkin karena tanah tertinggi di seluruh Jawa,
dimana Pulau Jawa kan kaya akan banyak dewa-dewa agama Hindu-Buddha di
jaman dulu.
Sumber dari Om Wiki, menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15,
pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing
dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau
Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa. Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma
menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan
badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa
tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka
temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu
mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian
mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung Meru
dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan jajaran
pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur. Akan tetapi
ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring,
sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu
dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung
Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan
bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang
dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.
Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru,
Gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan
sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan. Banyak
masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai
tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus.
Negeri di Atas Awan
Malam tanpa
hujan, musim hujan telah berlalu dan melakukan pendakian di musim-musim
seperti ini sangat jauh lebih baik. Apalagi jika ke sini, pasti akan
melakukan perjalanan malam yang panjang nan melelahkan. Yaitu perjalanan
akhir menuju puncak. Bisa dimulai dari Kalimati di 2700 mdpl atau
Arcapada 2900 mdpl. Menuju puncak di ketinggia 2676 mdpl, anda akan
membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak daripada trek-trek sebelumnya.
1,5 kilometer saja. Tapi waktunya bisa sampai 5-8 jam. Woow
Pukul 10.30
malam kami berenam mulai terjaga. Tak ada hujan, tak ada kabut. Tetapi
angin malam kencang berderu-deru di Kalimati. Dingin beku menusuk-nusuk
seisi tenda. Kami mulai bergegas, satu carrier kami penuhi dengan banyak
logistik, komnes, 2 botol besar air dan jirigen 1,5 liter. Yang lain
hanya bawa daypack. Perlengkapan kami kenakan. Senter, sepatu treck,
sarung tangan, penutup kepala, camdig adalah barang wajib. (Walau
kemaren ane naik cuma pake sendal gunung, nyiksa). Tenda dan
barang-barang yang lain cukup ditinggal di Kalimati. Tidah perlu membawa
banyak bawaan. Dari
informasi, trek akhir adalah jalanan berpasir dengan kemiringan tinggi.
jauh lebih menyulitkan. Terlihat jelas ketika di Jambangan sebelumnya.
Dan waktu di puncak pun tak boleh lebih dari pukul 10.00. Katanya, arah
angin cenderung mengarah ke puncak pada jam segitu. Membawa gas beracun
dari Jonggring Saloka. Oleh karenanya, untuk mencapai puncak, semua
pendaki nge-trek malam. Biasa dimulai dari pukul 11 malam atau jam 1
malam untuk bisa mendapatkan sunrise. Itu pun kalo kuat.
Tepat pukul
11.00 kami berangkat. Beberapa rombongan lain sepertinya sudah berangkat
duluan. Menyusuri jalan setapak ke arah kiri kemudian belok ke kanan
denga sedikit turunan. Kami mulai kembali masuk dalam hutan. 1,2
kilometer menuju Arcapada. Jauh berbeda dengan jalur Ranu Pane-Kalimati.
Tanjakan banyak dimana-mana, khas Gunung Jawa Barat dengan akar-akar
pohon yang menjulang. Tapi dengan tambahan debu yang mengepul. Hanya
butuh waktu 2 jam untuk mencapai Arcapada. Beberapa petak tanah lapang
dengan beberapa tenda. Dan rombongan besar pendaki yang juga sedang
istirahat. Kami pun istirahat sejenak mengisi tenaga. Tampak dari
kejauhan, di langit barat bulan berwarna merah. Benar-benar merah di
langit malam yang cerah. Hanya dari Arcapada ini bisa terlihat. Maklum
saja .Ini adalah pos terakhir, pepohonan sudah tak begitu tinggi juga
semakin jarang kepadatannya. Setelah rombongan besar tadi berenjak, kami
menyusul di belakangnya.
Tak jauh
dari Arcapada, setelah melewati batu nisan seorang pendaki, kami
mencapai batas vegetasi. Hutan terakhir. Cemoro Tunggal. Di depan kami
terpapar tanah menjulang tinggi. Tinggi sekali hingga tak terlihat
ujungnya. B
erwarna hitam
terdistorsi malam. Titik-titik cahaya putih berbaris lurus di depan
kami. Merayap naik ke atas sampai tak terlihat ujungnya. Itulah mata
para pendaki. Senter. Kami sedikit terperanjak. Mirip kemacetan di
Jakarta, cahaya-cahayanya berjalan menanjak pelan. Entah berapa ratus
orang yang berada di depan kami. Ingin mencapai ujungnya.
Kami pun
melangkah, bleeess. Masuk. Kaki masuk kedalam pasir. Melangkah lagi. Dan
terperosot lagi. Benar-benar membuat kami payah. Satu langkahan kaki
maka akan terperosok setengahnya. Entah berapa sudut kemiringannya, yang
pasti lebih dari 50 derajat. Jalur penuh pasir tanpa batu atau cadas
yang ga tau ujungnya seberapa. Hanya cahaya-cahaya di depan kami jadi
penunjuknnya. Kian lama fisik lah yang akan diadu. Semakin ke atas,
semakin sering berhenti dan istirahat. Tidur kembali di atas pasir
Semeru. Menatap jauh kedepan. Hanya hutan belantara di bawah langit
kelam.
Ane ga kuasa
menahan carrier di punggung. Beratnya menaik bukan kepalang. Anak-anak
pun sepertinya sudah tak kuat pula jika menggendongnya. Salah ternyata
kita, kenapa harus bawa segini banyak perbekalan? Padahal pendaki lain
hanya membawa daypack kecil berisi sebotol air. Saking ga taunya, dikira
treknya gampang, satu carrieer diisi penuh sama air dan logistik.
Akhirnya pun jadi bawaan yang menyiksa badan. Sesekali pendaki lain
menimpali kami.
"Wih, bawa carrier ga salah tuh mas?"
"Hehe, logistik"
"Banyak amat? mau jualan di atas"
"Iya mau buka warung"
Jawaban ane penuh nada ga enak. Entah mereka kagum atau malah mengejek. Yang pasti nyesel udah bawa segini beratnya. Sial masak ane donag yang bawa beban. Akhirnya di tengah perjalanan di bagi-bagi rata tuh isi carrier sama kita berenam.
Malam
semakin menghilang, Di ufuk timur, sinar putih mulai terlihat. Tapi
puncak masih saja tak terlihat. Kami berenan sudah terpisah jauh. Ane
sama Espe di depan. Evan dan Cokli kami tinggal sebelumnya, sedangkan
Zaky dan Ipin sudah kami tinggal dari awal. Zaky nemenin Ipin yang dari
awal agak kurang enak badan. Makanya pas di Kalimati dia pengen di tenda
saja, ga ikut naik. Dengan bujukan akhirnya dia naik juga.
Harapan
menikmati sunrise di Puncak Mahameru sudah pudar. Pukul 5 kami masih di
trek pasir yang ga ada habisnya. Langi sudah membiru kembali, malam
sudah terang kembali. Menoleh kebelakang, banyak pendaki yang sudah kami
lewati. Mungkin beberapa sudah putus asa dan kembali turun. Atau
mungkin mungkin malah lebih banyak. Evan, Cokli, Zaky dan Ipin tak
terlihat. Semoga mereka bukan golongan orang yang berputrus asa yang
turun kembali. Menciut nyalinya seperti pendaki lain. Espe yang di depan
ane juga terus berjalan, dia yang paling kuat pagi itu. Makin tak
terlihat oleh gundukan tanah yag lebih tinggi
"Mana sih puncaknyaa.....Ga ada habisnya perasaan"
Nada dalam hati ane. Tapi sudah sejauh ini tak mungkin ane turun kembali. Memaksakan diri adalah jalan satu-satunya.
Sunrise,
Soe Hok Gie, tanah para dewa, puncak tertinggi di Jawa. Kembali ane ucap
untuk menyemangati. Tak perlu lihat ke atas. Jala aja terus. 20 menit
setelahnya, setelah melewatu cerukan berbatu, para dewa pun membayar
perjuangan ini. Puncak. Yah, inilah puncak.
"Negeri di Atas Awan"
"Pe....Espeee...."
begitu sampai puncak ane mencari Espe yang sudah sampai duluan. terlihat di ujung sana ia duduk. Ane samperin.
"Nyampe juga"
Puncak
semeru adalah tanah yang datar lagi berbatu. Iya berbatu, beda dengan
jalurnya yang berpasir. Tanahnya cukup lapang. Tapi kalo dari bawah
tetap saja terlihat lancip. 2 tiang berbendera Merah-Putih berdiri tegap
di sini. Di sisi timur, tepat di langit sunrise, kawah Jonggring saloka
tertutup lautan awan. Sepandang dari semua arah, benar-benar seperti laut. Inilah
negeri di atas awan. Angin bertiup kencang, sangat kencang. Dingin
menembus jemari yang bergetar. Panas matahari tak mampu menghagatkan
dinginnya sapua angin. Di sini, tempat bersemayam Soe Hok Gie, puncak
abadi para dewa.
28 Agustus 2012, 3676 mdpl
Espe dan sunrise-Nya
Evan dan Cokli, 25 menit setelah ane dan Espe.
Expedition Mapatra - Trip to Semeru 2012....SUKSES
Zaky, 40 menit setelah Cokli dan Evan
Mapatra - Mahesa
Setengah jam lagi......
Mana Ipin?
Kami berlima berlindung dari agin pada cerukan kecil sebelum puncak.
Menunggu Ipin datang. Angin semakin bertiup kencang. Kami memanaskan
air, Ngupi-Ngupi lucu di puncak Semeru. Pukul 7 pagi kami tak kuasa
menahan angin dingin dan memutuskan untuk turun, sekaligus mencari tahu
kondisi Ipin.
Ketika
bersusah payah naik di jalur pasir maka akan berselacar ria ketika
turun. Kami turun begitu cepat dengan menselancarkan kaki kami pada
pasir-pasir yang gersang. Apalagi treknya menurun drastis. 10 menit
berselang kami bertemu dengan Si Ipi. Berjalan tertuduk gontai. Kedua
tagannya meringsek kedalam celana jaket putihnya. Pelan. dia berjalan
perlahan menanjak pasir.
"Pin, sehat lo?"
"Hmmmm...."
"Masih kuat kan?"
"Mana puncak nya sih"
"Noh di depan, gw tunggu dari tadi. DI atas dingin banget. Ga kuat kalo lama-lama"
"Waduuh"
"Lo lanjut ga?"
"Ga tau nih"
"Yaudah ini, bendera sama camdig. Lo naik. Kita tunggu di sini sampe lo turun lagi. Cuma setengah jam lagi"
Dia pun
naik, terus naik. Badannya memang uadah nge-drop ari awal. Cokli dan
Evan turun duluan, mereka ditugasi untuk nyiapin makan siang. Jadi
ketika kami berempat turun, tinggal makan. Tinggallah ane, Espe ama
Evan. Nunggui Si Ipin. Di tengah jalur pasir tempat kami bermandikan
keringat semalam. Angin smekin kencang berjalan. Menghapuskan lautan awn
yang menbentang. Perlahan.....terbuka dunia bawah yang indah. Hutan
hijau, Kalimati dan gunung Kepolo, lebih jauh lagi, Oro-oro Ombo dan
Ranu Kumbolo. Dan yang paling jauh dari pandangan kami, Dinding
pegunungan Bromo. Jelas, bersih, cantik. Kita sudah berjalan sebegitu
jauhnya. Darah kami bersedir membiru sebiru alam itu...
Jalur berpasir menanjak .
Tepat di bawahnya Kalimati-Gunung Kepolo-Jambangan-Oro oro Ombo(tanah terlihat lapang) dan barisan Pegunungan Bromo
Nyampe juga akhirnya dia.... (^_^)
Satu hal yang patut diwaspadain waktu turun adalah kesasar ke arah jurang yang mengarah ke 'Blank 75'. Yaitu pada batas vegetasi, Cemoro Tunggal. Jalur asli berada di sisi kiri, agak nanjak dikit. Jika pendaki bisa lebih memperhatikan sebenarnya ada bendera hijau penanda jalur. Tapi karena ke-enakan berluncur turun, mereka cenderung mencari laur yang agak menurun dan akhirnya nyasar ke jalur 'blank 75' tersebut. Setengah dari kami sudah mencobanya. Hahahah.
Pukul 11
siang, masih di tanggal 26/08/12 hari Minggu, kami sudah berkumpul
kembali di Kalimati. Istirahat total. Ane dan Cokli ke 'Sumber Mani',
satu-satunya sumber air di tempat tersebut. 1 jam perjalanan
bolak-balik. Ke arah kanan kalau dari Jambangan. Ipin tergeletak lemas
di pinggir tenda. Yang lainnya sibuk menyipapkan makan siang. Sore ini
kami akan berpulang. Dengan sejuta kemenangan.
Para dewa...
yang negerimu kau sembunyikan dibalik lautan awan...
yang indahmu kau bungkus dengan kawah berarakan...
Akhirnya bendera dapat kami kibarkan di tanahmu...
0 comments