16 February 2013, Diary Note
Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya
Sepotong kalimat di bukunya mengisnpirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...
Bapak...
Kereta Majapahit merayap meninggalkan Stasiun Besar Kota Madiun yang
masih tidur. Tepat pukul 3 pagi. 12 jam perjalanan Jakarta-madiun. Ane
pun berpisah dengan Mas Rian, juga dengan mbak-mbak ramah di sebelah
bangku ane. Ibu-ibu pedagang nasi pecel masih segelintir. Yang selalu
rame adalah bapak-bapak yang menawarkan jasa ojek. Berebutan menyambut
rezeki pagi itu memecah barisan penumpang yang menju pintu keluar
Stasiun. Penuh semangat, antusias tapi tetap sopan. Ane ga mau terlibat
dalam fragmen kecil itu. Mampir dulu. 'Sowan'. Belum Maghrib-Isya.
Hehehehehe.
"Bapak, aku ke mushola dulu".
Begitulah
sms kedua-ke kepada Bapak yang pagi itu akan menjemputku di stasiun
ini. Bapaklah orang pertama yang kucium tangannya. Seperti biasa. Ketika
aku pulang.
Ane
dan Bapak masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit dengan
panjang jalur hampir 30 km untuk ke Rumah. Memang di Magetan belum ada
stasiun besar, jadi mau tidak mau ya turun di Madiun. Dengan motor bebek
buntut warna merah (ane sering menyebutnya 'motor perang'), ane memeluk
kencang-kencang pinggang Bapak. Takut jatuh. Dengan kondisi pagi yang
masih sepi. Gas motor dipelintir tinggi-tinggi. Berderu meninggalkan
'kota gadis'. Obrolan kecil di sepanjang perjalanan pagi itu pun
mengiringi. Kesibukan bapak lah, agenda hari ini lah, polisi di lampu
merah lah.
"Terobos saja Bapak, masih pagi ini. hahahaha"
Sampai masuk Kecamatan Sukomoro, tepatnya di desa Bulusari kabut mulai
menutupi jalan. Sudah mirip kondisi di daerah kaki gunung Lawu. Dan
semakin menjadi ketika melewati 'benga-an' Sukomoro-Kentangan. Kabutnya
sudah berair. Menggurat-gurat di kaca helm. Kabut yang tebal dan berat.
Percampuran H2O dari
perkebunan tebu dan sawah-sawah penduduk di waktu malam. Tapi tenang
saja bagi ane. Tubuh bapak yang besar tinggi sudah cukup menjadi
pelindung bagi ane. Pemecah kabut. ckckckckck.
Rasanya ane harus bikin posting tersendiri untuk menulis tentang
'Bapak'. Waktu 45 menit dan jarak 30 km tak mampu mendeskripsikan sosok
Bapakku.
Ibu...
Gerbang 'Selamat Datang di Desa Truneng'. Masih kokoh seperti dulu.
Dengan corak dan warnanya. Selalu siap menyambut siapa pun yang masuk
desa tercintaku. Truneng. Nama yang unik bukan? Tapi nanti dulu kita
bahas 'Truneng'. Selain bapak, yang selalu ribet kalo ane pulang memang
yang satu ini. Siapa lagi kalo bukan dia. Ibu. Ibuku. Satu-satunya
Ibuku. d'Best. All love buat beliau. Baru saja motor nyampe di bawah
tiang listrik deket rumah, kunci pintu rumah sudah terdengar berisik.
Hmmmm. Sudah hafal banget sama suara motor bapak. Secercah senyum
terurai diantara kedua matanya yang masih sayu mengantuk.
"Assalamu'alaikum Ibu".
Kuhampiri, kucium tangannya. Seperti biasa. Ketika aku pulang.
"Mas sehat kan?"
"Sehat kok Bu"
"Neng Jakarta ngopi atau tidak? Pengen digawekne kopi opo teh?" (Di
Jakata suka ngopi atau tidak? Mau dibuatin kopi atau teh?)
"Terserah Ibu saja"
Dan
pasti yang dibuatin teh. Seperti biasa. Ketika aku pulang. Dan Ibu
langsung bingung menawari ane ini dan itu, sekarang atau nanti, lapar
atau tidak. Hihihihihi. Ibuku. Aku ga lapar kok. Cuma pengen liat bapak
dan ibu saja. Segelas kopi untuk Bapak, segelas teh untuk ane.
Pembicaraan kecil dibentuk. Ane ceritain kalo tiket pulangnya promo,
tiket "valentrain" (dan sekeras apaoun ane jelasin apa itu valentrain,
sekeras itu pula mereka tak mengerti), murah dibandingkan yang lain, ini
dan itu. Mereka cerita tentang sawah, panen padi hari Senin nanti,
nanti aku 'nyabet' di sawah orang, kamu sendiri ga pa pa kan, ini dan
itu. Dan yang paling ujung adalah tentang sarapan.
"Ibu ngko ga masak lho mas. Mau dibuatin apa sarapannya?"
"Seperti biasa bu. Nasi Pecel"
Ga tau
kenapa kalo pulang pagi pertama yang ane request adalah nasi pecel.
Rasanya jauh sama yang di Jakarta. Harganya?? Jauh pula. Empat kali
lebih murah. Ckckckck.
Ngomomg-ngomong soal request, pulang kampung adalah 'ajang requet' ane
untuk Ibu. Apa lagi kalo bukan soal makanan. Hampir setiap hari selama
ane di rumah, ane adalah penentu menu makanan. Ckckck. Pokoknya semua
jenis harus dibuatin. Yah, jadi agak manja memang. Tapi apa iya?
Hlawonng yang ane requaes cuma bikinin sayur terong, sayur singkong,
sayur besai, sambel teri, sambel tomat, balado terong, 'botok lamtoro',
'geneman tahu-tempe', ga jauh-jauh dari itu kok. Makanan sederhana saja.
Saing sederhananya, ane ga bisa temuin masakan itu di Jakarta (Lebih
tepatnya, ga bisa menemukan makanan yang seenak masakan Ibuku).
hahahahah.
Rasanya ane harus bikin posting tersendiri juga untuk 'Ibu'. Sederet
makanan terbaik Ibu ga bakal cukup menuliskan sosok Ibuku.
Si Adek...
"Adek mana Bu?"
"Paling yo sek turu neng kamar. Opo lagi sinau palingan. Dino iki bocahe
ke eneng 'trai-ot'." (Mungkin masih tidur di kamar. Atau mungkin juga
sedang belajar. Hari ini ada ujia Try-Out)
"Oooh"
"Nyapo Mas? arep mbok ajak jalan-jalan yee?" (Kenapa Mas?Mau diajak jalan-jalan?)
"Hahahahahaha. Mboh ngko. Delok-delok ae" (Ga juga kok. Lihat kondisi saja)
Eeeehhh. Ga kerasa udah adzan Subuh. Sehabis 'sowan' ane datangin kamar si Adek. Eh bener, lagi belajar.
"Hush, sholat sholat. Belajar mulu. Ntar pintar. Hahahahahahahah"
"Opooooo tooooooooo.....Mas-keeeeee"
Jawaban
yang selalu sama. Seperti biasa. Ketika aku pulang. Sabtu pagi itu
akhirnya ane yang mengantarkan Adek berangkat sekolah. Tapi ane minta
syarat.
"Yaudah, Mas anter tapi ada syaratnya"
"Apa?"
"Mau dulu apa ngga nih sama syaratnya?"
"Apa dulu syaratnya?"
"Yeee. Mau dulu apa engga?"
"Ya ga bisa begitu dong?"
"Kalo ga mau ya udah"
Mukanya udah mulai kesel. Tapi akhirnya mau juga dengan syarat ane.
"Ini, jangan lupa tiap Subuh, Magrib, Dhuha dan Tahajjud".......'Bingkisan kecil untuk Si Adek'
Pagi
ini Kabupaten Magetan cerah benderang. Gunung Lawu terlihat lebih
bersih dengan langit yang membiru. Mengendarai motor Supra-X hitam yang
juga mulai buntut ane mengantar si Adek ke sekolah. Asik bukan main buat
ane. Walau embun masih terasa dingin ane ga pakai jaket. Sengaja untuk
merasakan hawa dingin Magetan. Jakarta udah kepanasan. Hehehehe. Berbeda
jauh dengan Magetan. Masih resik, apik, dan hmmmm............seger.
Percandaan kecil dengan Si Adek ga terlewatkan. Bersama prenjak-prenjak
dan burung gereja yang berlarian di awan. Sayang buat disia-siakan.
Sehabis mengantarkan adek pulang, ane nongkrong di depan Pasar Sayur
Magetan. Beli koran. Baca-baca sampai bosan.
Cukuplah fragmen pagi itu menyambut ane di kota kelahiran, kampung halaman, Magetan.
Cukuplah tiga sosok itu menggetarkan 'Riak-riak Rasa' dalam diriku yang berpulang...
....................................................
Riak-riak Rasa itu...
(...to be continued)
0 comments